KONSEP DAN STRATEGI
MISI GKJTU:
UPAYA MEMANTAPKAN
DIRI
MENJALANI MISI
INTEGRAL KONTEKSTUAL
A. Pendahuluan
Allah mengutus Gereja ke dunia,
seperti Allah Bapa mengutus Putra-Nya (Yoh 20:21) dan mengutus Roh Kudus-Nya
(Yoh.14: 26). Dengan demikian, Gereja terlibat dalam misi Allah Tritunggal
(bahasa Latin: missio Dei).
Gereja diutus menjadi saksi Kristus
(KPR 1:8), menjadi „terang“ dan „garam“ (Mat 5:13-16) serta “penjala manusia“
(Mrk 1:17). Dalam rangka itu Gereja diutus pula untuk “menyampaikan kabar baik
kepada orang-orang miskin; ... untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang
tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang
yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang“ (Lukas 4:
18-19). Dengan demikian Gereja diutus untuk memuridkan segala bangsa dan
mengajarkan mereka tentang kehidupan baru dalam Kristus (Mat 28: 19-20). Gereja
bahkan diutus untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk (Mrk. 16:15). Misi
itu dilakukan berdasarkan keyakinan bahwa keselamatan hanya ada di dalam Yesus
Kristus (KPR 4: 12; Yoh 3: 16).
Kesaksian Kristiani dinyatakan dalam
rangka memberitakan Injil. Akan tetapi, tujuan kesaksian bukan sekadar agar
orang lain berganti agama, namun mewujudkan kesaksian yang hidup, yaitu mengenai
apa yang dikehendaki Allah melalui seluruh pola pikir, pola rasa, dan pola
sikap orang Kristen. Selain itu, kesaksian Kristen juga bukan sekadar untuk
menunjukkan kedermawanan orang Kristen, melainkan untuk menunjukkan contoh
nyata mengenai pola hubungan antarmanusia yang seharusnya.
Misi GKJTU dimulai dengan penginjilan
pribadi oleh Pieter Sadaya dan Nyonya Le Jolle pada pertengahan abad ke-19.
Misi itu kemudian dikembangkan menjadi misi diakonia pertanian oleh Reijer de
Boer, kemudian diperluas menjadi misi yang semakin menyeluruh, misalnya dalam
wujud pendidikan dan kesehatan yang dilakukan oleh Salatiga Zending.
Sejak tahun 1937 misi tersebut dilanjutkan oleh GKJTU-PA, seperti yang
dirumuskan di Pranatané Pasamoewan
Kristen Salatiga Zending Bab V, Pasal
31, “Pasamoewan koedoe mrelokaké ngabari wong kang doeroeng mratobat,
martakaké pangandikané Goesti Sang
Pamarta…” Kemudian sejak tahun 1963 hal itu ditegaskan kembali di Anggaran Dasar G.K.J.T.U…PA, Pasal 3, “Gereja tersebut mempunyai tujuan…memberitakan
Injil kepada Masyarakat Indonesia.”
Dalam suasana pasca-G 30 S GKJTU
dapat melaksanakan misi perintisan jemaat yang luar biasa. Hal itu ditegaskan
pada tahun 1986 di TTD GKJTU, Bab IXV, Pasal 42, “GKJTU…membangun dan mendirikan jemaat-jemaat, pepanthan-pepanthan dan
warga marenca buah kesaksian/ pekabaran Injil dan pelayanan.” Pada awal
abad ke-21 GKJTU merumuskan dan melaksanakan misi yang mencakup seluruh aspek
kehidupan, yang dinyatakan dengan misi penciptaan, misi pembebasan, dan misi
rekonsiliasi (pendamaian), seperti yang dijabarkan di Rencana Induk Pengembangan GKJTU
2003-2028, Bab V.B.3. Selanjutnya, GKJTU semakin menyadari tentang
konteks, yang meliputi kebudayaan, kemajemukan, politik, ekonomi, dan IPTEK.
Hal itu dibahas dalam Pelengkap Katekismus
Heidelberg (PKH), yang disahkan oleh Sidang Sinode GKJTU ke-27 tahun 2008.
Meskipun dalam sejarahnya, GKJTU
telah merumuskan dan melakukan berbagai pekerjaan misi, GKJTU tetap mengakui
bahwa misi penginjilan adalah “jantung misi GKJTU”, seperti ditegaskan di TTD
GKJTU, Bab II, Pasal 4: “GKJTU terpanggil
untuk menyaksikan atau memberitakan Injil yaitu kabar kesukaan yang
menyelamatkan manusia; dan berdasarkan kasih melayani sesama di dalam segala
bidang kehidupan manusia di dunia ini (Yoh, 13:1-20; 14; Mat.22:37-40;
28:19).”
Dalam melaksanakan semua misi itu,
GKJTU bekerja sama dengan mitra-mitranya di dalam dan di luar negeri.
Tujuan akhir misi adalah pertobatan
dalam Kristus. Akan tetapi, sebelum Gereja melakukan tugas itu, setiap warga
gereja harus bertobat dan mengalami kelahiran baru. Hal itu telah ditunjukkan
oleh pengalaman iman Ibu Le Jolle, sebagai perintis GKJTU.
GKJTU menyadari keberadaannya dalam
konteks (lingkup) yang senantiasa berubah. Oleh karena itu, GKJTU terus
berupaya memantapkan misinya di tengah-tengah perubahan itu, dengan tetap
memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai konteks yang menyekitarinya. Semua
itu dilakukan agar dalam mengemban misinya, pelayanan GKJTU tetap relevan
(cocok) dengan situasi dan bermakna.
GKJTU dipanggil untuk melaksanakan
misinya, yaitu mewujudkan karya penyelamatan Allah di dunia, baik secara
individual maupun sosial, spiritual maupun material. Misi tersebut sesuai
dengan hasil seminar dan lokakarya Misi
Kontekstual GKJTU, yang diselenggarakan pada 18 s.d. 20 Juni 2009.
B. Gambaran
Misi GKJTU
Diagram misi ini dapat
dijelaskan demikian :
1. GKJTU
sebagai gereja memiliki misi atau tugas panggilan di dunia untuk dunia. Misi
GKJTU secara utuh dan menyeluruh (komprehensif) adalah mewujudkan karya
penyelamatan Allah di dunia ini baik secara individu maupun secara sosial,
spiritual maupun material. Pelaksanaan misi tersebut dapat dijabarkan dalam
tiga tugas panggilan utama yaitu persekutuan, penginjilan (atau kesaksian), dan kemanusiaan (atau
pelayanan / diakonia).
2. Tugas
panggilan persekutuan itu dilakukan sebagai pewujudnyataan keselamatan dari
Tuhan Yesus Kristus. Keselamatan dari Tuhan Yesus juga merupakan dasar dan
titik berangkat persekutuan orang percaya.
3. Tugas panggilan
penginjilan dilakukan sebagai amanat utama dari Tuhan Yesus untuk mewartakan
kabar baik. Karya penyelamatan Allah yang dikerjakan di dalam Tuhan Yesus
bertujuan agar dunia selamat, yang merupakan tujuan kesaksian Gereja.
4. Tugas
panggilan kemanusiaan (atau pelayanan/ diakonia) dilakukan untuk
mewujudkannyatakan kasih Allah kepada dunia dengan segala tindakan misi
penciptaan, misi pembebasan, dan misi
rekonsiliasi.
a. Misi
penciptaan diwujudkan dalam keterlibatannya untuk memelihara dan melestarikan seluruh
ciptaan bagi kepentingan semua ciptaan untuk “mengembalikan” ciptaan yang telah
rusak karena ulah manusia, menjadi ciptaan yang baru.
b. Misi
pembebasan untuk membebaskan manusia dari segala belenggu penderitaan,
ketidakadilan, penindasan, dan sebagainya.
c.
Misi rekonsiliasi atau misi
pendamaian dilakukan berdasarkan pendamaian yang dilakukan Allah kepada manusia
di dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Dalam dunia yang penuh konflik dengan segala
kepentingannya, gereja dipanggil menjadi alat untuk mendamaikan pihak yang
bertikai. Gereja menjadi juru damai.
5.
Semua misi yang harus dilakukan oleh gereja
sebagaimana dipaparkan di depan, dilakukan dengan dasar pelayanan tanpa pamrih.
Misi tersebut dilakukan dalam wujud ketaatan gereja dengan etos (sikap)
“hamba” yang menjalankan tugas “tuan-Nya” yaitu Tuhan Yesus Kristus yang
telah memberikan teladan-Nya.
Tiga tugas panggilan gereja,
yaitu misi persekutuan, misi penginjilan, dan misi kemanusiaan, pada diagram di
atas digambarkan dengan tanda panah yang serempak. Itu berarti, ketiga misi itu
dijalankan secara serempak, seiring sejalan. Tidak mengutamakan misi tertentu
dan mengabaikan yang lain. Ketiganya harus dilakukan secara serempak, utuh
(holistik), menyeluruh (komprehensif), saling melengkapi dan saling mendukung.
C.
Misi GKJTU di dalam
Konteksnya
GKJTU ikut terlibat dalam misi Allah
di segala bidang kehidupan, terutama di bidang budaya, pendidikan, sosial,
politik, dan ekonomi, seperti diuraikan berikut ini.
1.
Misi GKJTU di Bidang Kebudayaan
GKJTU hidup di tengah-tengah budaya Jawa, yang
senantiasa mengalami perubahan. Hal itu terjadi karena adanya interaksi
antarbudaya. Budaya lokal bertemu dengan budaya nasional maupun internasional
sehingga terjadi proses saling mempengaruhi.
Dilihat dari tempatnya, GKJTU hidup dalam lingkup
budaya Jawa. Akan tetapi, ternyata tidak semua warga GKJTU beretnis Jawa.
Sekitar 5% warga GKJTU berasal dari etnis lain. Dengan demikian, di dalam tubuh
GKJTU sendiri, terjadi proses saling mempengaruhi. Hal itu menunjukkan bahwa
GKJTU bukan gereja etnis Jawa, seperti yang ditegaskan di PKH,
pertanyaan 16: “GKJTU bukan gereja etnis Jawa. Oleh karena itu, GKJTU
menghargai keperbagaian bahasa dan budaya suku-suku bangsa sebagai pemberian
Tuhan. Bahasa-bahasa dan seni budaya dihayati sebagai wahana untuk menyembah
Tuhan.” (Mzm. 117:1; Wahyu 7:9-10).
Sejarah menunjukkan bahwa budaya Jawa mampu menyerap
berbagai budaya asing, bahkan diterima menjadi bagian dari budaya Jawa.
Misalnya, sendratari Ramayana yang berasal dari India, musik keroncong yang
berasal dari Portugis, beskap yang berasal dari Belanda, dan sebagainya. Akan
tetapi, dewasa ini banyak masyarakat Jawa dan juga warga GKJTU yang khawatir
tentang keberadaan budaya Jawa yang tertindih budaya global dan sekuler
(duniawi). Bagi sebagian besar generasi muda, hal itu dapat diterima dengan
mudah, tetapi bagi sebagian besar generasi tua, sulit untuk menerima perubahan
itu. Generasi tua cenderung untuk mempertahankan budaya tradisional.
Perbedaan sikap antara generasi muda dengan
generasi tua menimbulkan pertentangan di masyarakat Jawa, juga di GKJTU.
Generasi tua merasa perlu untuk mempertahankan budaya tradisional yang dianggap
sebagai jatidiri orang Jawa. Atas dasar itulah, generasi tua cenderung menganggap
anak muda yang menerima budaya Barat “kebarat-baratan”, bahkan “ilang Jawane”.
Sedangkan generasi muda cenderung menganggap generasi tua bersikap kolot atau
kuno.
Bagaimana pun kenyataan menunjukkan bahwa budaya
Jawa mengalami perubahan dan pergeseran. Perubahan yang paling terasa terjadi di
kota-kota besar, yang kemudian merembet sampai ke desa-desa, bahkan ke desa
yang paling terpencil.
GKJTU dipanggil untuk melaksanakan misinya
mewujudkan karya penyelamatan Allah di bidang budaya, baik secara individual
maupun secara sosial baik secara spiritual maupun material. GKJTU memperbaharui
budaya dan mengarahkan segala perubahan budaya ke arah yang menjadi berkat bagi
masyarakat. Semua budaya yang sedang saling memengaruhi (interaksi) perlu
diuji: “mana yang perlu disingkirkan, mana yang dipakai, dan mana yang perlu
diperbarui” (PKH, pert. 2). Nilai baik dalam budaya tradisional perlu
dipertahankan, tetapi ada juga unsur budaya yang perlu disingkirkan, seperti
klenik, perdukunan, dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan PI senantiasa
merupakan pertempuran dengan kuasa roh, yang membutuhkan perjuangan berdasarkan
kuasa Roh Kudus, yaitu dengan doa dan puasa. Contoh budaya Jawa yang perlu
diperbaharui adalah segi kesetaraan gender. Kesetaraan gender secara teoretis
sudah diakui oleh GKJTU (dan bahkan oleh masyarakat di sekitarnya), namun belum
sungguh dipahami oleh warga dan belum difungsikan secara maksimal. Umpamanya,
warga jemaat yang hadir dalam kebaktian lebih banyak yang perempuan, tetapi
anggota majelis kebanyakan / hampir semua laki-laki, terutama di daerah
pedesaan. Di rumah tangga pun perempuan sering menjadi korban kekerasan.
Kesetaraan gender adalah nilai positif dari budaya
luar. Akan tetapi, tidak semua budaya luar dapat diterima begitu saja. Setiap
produk budaya harus dicermati, diseleksi, dan diarahkan. Setiap budaya harus
diuji, mana yang dapat dipakai, mana yang dapat diperbarui, dan mana yang harus
ditolak. Contoh sederhana, orang Indonesia khususnya Jawa tentu akan baik jika
menggunakan sopan santun Indonesia, khususnya Jawa. Sebaliknya, kebebasan seks
sebagai pengaruh budaya luar tidak sesuai dengan etika Kristen dan juga bertentangan
dengan etika umum di masyarakat Indonesia. Dengan penyeleksian seperti itu,
yang masuk, diterima, dan dikembangkan dari budaya luar adalah yang mengandung
nilai-nilai positif.
Untuk terlibat dalam karya penyelamatan Allah di
bidang budaya, GKJTU mengadakan lokakarya tentang budaya secara umum, tentang
nilai etika Jawa serta budaya-budaya lainnya, tentang kesetaraan gender serta
pelatihan seni budaya, baik untuk warga gereja maupun untuk masyarakat umum.
Penyuluhan dan pemberitaan Injil tersebut juga memakai pelbagai media massa
(sarana penyebaran), seperti media cetak, radio, rekaman audio, video dsb.
Khususnya dalam penggunaan media radio dan rekaman audio GKJTU bekerja sama
dengan LTWR sebagai mitranya dan mempromosikan pelayanan LTWR di jemaat-jemaat.
Kegiatan lokakarya tersebut juga menjadi
kesempatan untuk bersaksi, dan akhirnya seni budaya bisa menjadi sarana pengabaran
Injil. Maka untuk warga Gereja, GKJTU mengadakan pelatihan penginjilan
kontekstual berangkat dari PKH, bagian budaya (pert. 1-17). GKJTU
mengupayakan bentuk liturgi yang semakin memberi tempat (mengakomodasi) pada
pelbagai budaya yang dijumpai di antara warga GKJTU. Demikian pula budaya masyarakat-masyarakat
yang akan dijangkau dalam pekabaran Injil oleh GKJTU diwadahi dalam liturgi
GKJTU (band. PKH, pertanyaan 16-17).
2. Misi GKJTU di Bidang
Pendidikan
Pada hakikatnya pendidikan adalah proses yang
dijalani manusia untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Seiring dengan kesadaran itu, masyarakat
semakin membutuhkan pendidikan. Berbagai lembaga pendidikan mengalami
pertumbuhan yang pesat karena dipercaya sebagai lembaga yang mampu meningkatkan
bahkan mencetak sumber daya manusia yang handal. Hal itu memunculkan anggapan
bahwa pendidikan yang tertinggal akan menjadi ancaman serius bagi masa depan
kehidupan manusia. Hanya SDM yang berkualitas yang akan mampu membebaskan diri
dari kebodohan dan kemiskinan. SDM yang berkualitas akan lahir dalam proses
pendidikan yang juga berkualitas.
Pendidikan dipercaya mampu mewujudkan SDM yang
berkualitas. Atas dasar itu, lahirlah berbagai lembaga pendidikan yang
menjanjikan hal itu. Akibatnya, terjadi persaingan dan kesenjangan
penyelenggaraan pendidikan. Ada sekolah yang bermutu, tetapi mahal. Ada sekolah
yang relatif murah, tetapi kurang bermutu. Masing-masing lembaga pendidikan
berjuang untuk mendapatkan siswa yang memadai.
Sekolah Kristen juga dihadapkan pada persaingan
itu. Ada sekolah Kristen yang sungguh bermutu, tetapi disebut sebagai “sekolah
mahal”, sehingga hanya menjangkau kalangan tertentu. Sebaliknya ada juga
sekolah Kristen yang setiap tahun bergumul dengan belum memadainya jumlah siswa
yang diterima.
Sementara itu, di pedesaan masih banyak masyarakat
yang kurang menyadari pentingnya pendidikan karena tidak terkait langsung
dengan kehidupan di desa. Ada juga masyarakat yang bersikap apatis karena
melihat kenyataan betapa sulitnya lulusan SLTA bahkan perguruan tinggi
mendapatkan pekerjaan sesuai dengan tingkat pendidikannya. Pada sisi yang lain,
ada juga sebagian masyarakat desa yang bersemangat menyekolahkan anaknya, hingga harus meninggalkan desanya.
Dalam hal mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen
di sekolah negeri, pemerintah belum menyediakan guru Pendidikan Agama Kristen
PNS dalam jumlah yang memadai. Masih banyak sekolah yang mempunyai siswa
beragama Kristen, namun tidak mendapatkan pelayanan Pendidikan Agama Kristen
yang baik. Banyak guru mata pelajaran lain beragama Kristen disampiri tugas mengajar
mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen. Bahkan ada juga sekolah yang mempunyai
siswa beragama Kristen, namun tidak dapat memberikan pelajaran Pendidikan Agama
Kristen dengan alasan tidak mempunyai guru atau tidak mampu menyediakan guru
tidak tetap. Dari segi lain, di banyak tempat guru agama Kristen yang ada
kurang dimanfaatkan. Selain itu, ada juga pihak lain yang berupaya untuk
memaksakan sekolah Kristen agar menyelenggarakan pendidikan agama non-Kristen
bagi peserta didik yang non-Kristen.
GKJTU dipanggil untuk melaksanakan misinya
mewujudkan karya penyelamatan Allah di bidang pendidikan baik secara individual
maupun secara sosial, baik secara spiritual maupun material. Pendidikan
diarahkan menjadi pendidikan yang mencerdaskan berdasar nilai-nilai Kristiani.
Maka GKJTU berjuang agar pendidikan yang bermutu terjangkau untuk seluruh
lapisan masyarakat. Dalam rangka itu GKJTU berjuang pula supaya keseimbangan
antara IQ (kecerdasan intelektual), EQ (kecerdasan emosional) dan SQ
(kecerdasan spiritual) terjaga. Tujuan tersebut diperjuangkan baik di lembaga
pendidikan milik GKJTU sendiri maupun di sekolah lain.
Untuk terlibat dalam karya penyelamatan Allah di
bidang pendidikan, GKJTU mengadakan program pendidikan, baik formal dalam
bentuk sekolah-sekolah maupun non-formal dalam bentuk kursus keterampilan,
perpustakaan, lumbung informasi dsb. ataupun program beasiswa. Khususnya di
bidang pendidikan formal, sekolah Kristen (termasuk sekolah-sekolah milik
GKJTU) harus mempunyai nilai lebih dibandingkan sekolah-sekolah lain, apalagi
kalau sekolah lain itu oleh masyarakat dianggap lebih murah. Kelebihan itu
harus nampak baik dari segi SDM pengajar maupun dari segi sarana dan prasarana.
Dengan demikian sekolah-sekolah Kristen mencerdaskan bangsa, tetapi pendidikan
Kristen tersebut juga menjadi sarana pekabaran Injil sejak zaman zending sampai
sekarang. Selain itu, GKJTU bersama dengan gereja-gereja lain juga melakukan
mediasi (pendekatan) kepada pemerintah untuk mendukung penyelenggaraan
pendidikan agama Kristen di sekolah-sekolah negeri secara merata (baik guru
maupun sarana untuk belajar mengajar), dan juga supaya pemerintah daerah
mengalokasikan dana guna membantu sekolah swasta.
3. Misi GKJTU di Bidang
Sosial dan bagi seluruh Semesta
Dari dulu bangsa
Indonesia menganut prinsip “Bhinneka Tunggal Ika”. Secara khusus orang Jawa
menjunjung tinggi nilai kerukunan di tengah keberanekaan dan budaya saling
menopang, seperti gotong royong, tepasalira, dsb. Namun, akhir-akhir ini
masyarakat Indonesia menghadapi tantangan baru: dari satu segi masyarakat
Indonesia menjadi semakin beraneka, di sisi lain muncul kelompok-kelompok yang
semakin fanatik dan eksklusif. Sebagai salah satu akibat, ada hambatan dalam
membangun gedung gereja, dan gereja yang sudah ada ditutup. Warga dan
fungsionaris gereja pun kadang-kadang terjebak antara sikap fundamentalisme,
sinkretisme tradisional (“agami-agami sami kemawon”) ataupun relativisme
modern, yang mengganggap semua agama sama-sama sebagai jalan keselamatan.
Namun, di banyak jemaat kerja sama dengan umat beragama lain masih kurang.
Karena pengaruh negatif budaya modern, ada
kecenderungan hidup semakin mementingkan diri sendiri, semakin duniawi dan
mengejar kenikmatan, semakin pragmatis, serba cepat dan instan. Sedangkan
budaya gotong royong, tepasalira, dan sebagainya. semakin menghilang.
Akhirnya kesenjangan sosial semakin terasa. Kerukunan dengan lingkungan hidup
pun terganggu dengan limbah pabrik, pembuangan sampah, banjir sebagai akibat
ulah manusia, penggundulan hutan dsb. Perubahan-perubahan sosial ini pun paling
terasa di daerah perkotaan, tetapi mulai terasa di daerah pedesaan pula.
GKJTU dipanggil untuk melaksanakan misinya
mewujudkan karya penyelamatan Allah di bidang sosial dan bagi seluruh semesta
baik secara individual maupun secara sosial, baik secara spiritual maupun
material. Kehidupan sosial diperbaharui dengan mewujudkan kehidupan gereja
sebagai kehidupan komunitas untuk kasih. Komunitas kasih itu hidup bukan hanya
untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk masyarakat di sekitarnya. Dengan
demikian pelbagai kelompok dapat hidup berdampingan dalam
kemajemukan dengan saling menghormati dan saling menopang. Jadi GKJTU
menjalankan misi rekonsiliasi agar hidup rukun dengan sesama manusia dan Misi
Penciptaan agar hidup rukun dengan seluruh ciptaan Tuhan, seperti ditegaskan di
Rencana Induk Pengembangan GKJTU 2003–2028.
Untuk turut serta dalam karya penyelamatan Allah
di bidang sosial dan untuk seluruh semesta, GKJTU sejak zaman zending sampai
sekarang sudah menjalankan banyak program diakonia yang membantu seluruh
masyarakat; program seperti itu sekaligus mempererat kesatuan dan persatuan
dalam masyarakat (mis. program “Tanggul Bencana”; band. TTL
GKJTU, Bab XIV, ps. 56). Akhir-akhir ini program-program
GKJTU bahkan menjadi berkat bagi seluruh ciptaan Tuhan (mis. program pertanian
organik, biogas dsb.). Program seperti itu dilanjutkan dan dikembangkan.
Selain itu, forum komunikasi umat beragama ditingkatkan, a.l. guna membangun
komunikasi dalam rangka mengatasi sekat / hambatan dalam pembangunan gedung
gereja. Supaya program-program seperti ini didukung aktif oleh seluruh warga
GKJTU, pembinaan tentang kemajemukan dan pluralisme
diselenggarakan, berangkat dari PKH bagian kemajemukan (pert. no.18-29);
secara khusus definisi GKJTU tentang pluralisme di PKH, pert.18,
disosialisasikan. Maka dapat diharapkan agar masyarakat semakin jenuh dengan
fanatisme kelompok tertentu, seperti dulu terjadi dalam suasana pasca-G30S,
karena orang Jawa pada dasarnya membenci segala bentuk fanatisme.
Demikian pula bagian PKH tentang lingkungan
hidup (pert.no. 62-69) menjadi dasar untuk pelbagai program pembinaan tentang
lingkungan hidup. Agar upaya ini didukung oleh seluruh masyarakat, GKJTU
mengadakan penyuluhan, lokakarya tentang nilai–nilai yang baik seperti gotong
royong serta pendampingan hukum, bukan hanya untuk warga gereja, melainkan
untuk seluruh masyarakat. Kerukunan seperti itu juga mendukung penginjilan,
berdasarkan pemahaman: “Dikena iwake aja nganti butek banyune” (“Tangkap
ikannya tanpa membuat keruh airnya”). Penginjilan dengan pola pendekatan
hubungan persahabatan sangat relevan (cocok) untuk dikembangkan pada masa kini.
Sebagai strategi (cara) khas Jawa, penginjilan di tanah Jawa sering mengikuti
jalur dan hubungan kerabat keluarga, sesuai strategi yang dianjurkan di Pranatané pasamoewan Kristen Salatiga
Zending, “tilik sedoeloer ing omahé”. Dalam hal ini misi GKJTU
dibantu oleh fakta bahwa ikatan kekeluargaan dan kolektifitas amat tinggi di
konteks GKJTU. Sebagai strategi kedua, orang sengsara mendapat perhatian dalam
penginjilan, a.l. dengan cara “niliki wong lara”. Hal yang sama
disebutkan di TTL GKJTU, Bab XV, ps. 55, ayat 3: “Pemberitaan Injil
(PI)/kesaksian dilakukan dengan percakapan-percakapan dari pribadi kepada
pribadi ....” Maka seluruh warga jemaat perlu dilatih menjadi penginjil.
Strategi khas Jawa ini amat berbeda dengan strategi penginjilan “dari rumah ke
rumah” secara sembarangan.
4.
Misi GKJTU di bidang Politik
Untuk mengatur hidup sosial itu perlu politik.
Sebagai akibat reformasi sejak tahun 1998, kekebasan demokrasi dan pengetahuan
politik berkembang sehingga banyak warga jemaat yang terjun dalam politik
praktis. Tetapi dalam kenyataan reformasi belum membuahkan
hasil yang diharapkan dan seringkali malah disalahgunakan untuk kepentingan
pribadi ataupun kepentingan golongannya sendiri. Maka baik di antara warga
masyarakat maupun di antara warga gereja muncul pendapat atau kesan yang keliru
tentang politik: Ada anggapan bahwa politik dapat menghalalkan segala cara,
politik itu kotor, politik dapat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat. Oleh
kelompok ini politik dipahami hanya untuk merebut kekuasaan dalam perspektif
menang kalah, memperjuangkan golongan sendiri saja, bahkan terjadi politik
uang, suap dan korupsi. Akhirnya malah sering timbul ketegangan hubungan antar
warga oleh karena mendukung parpol atau calon yang berbeda-beda. Sehingga
apatisme (sikap acuh tak acuh) masyarakat terhadap politik muncul kembali
setelah reformasi berjalan lebih dari sepuluh tahun.
GKJTU dipanggil untuk melaksanakan misinya
mewujudkan karya penyelamatan Allah di bidang politik, baik secara individual
maupun secara sosial, baik secara spiritual maupun material. GKJTU berusaha
mengarahkan politik menjadi sarana untuk mencapai tujuan bersama, terutama
untuk kesejahteraan bersama. Maka GKJTU menjunjung tinggi nilai kejujuran,
kebebasan, keterbukaan dan kesetaraan dalam bidang politik pula sebagai misi
pembebasan, seperti ditegaskan di Rencana Induk Pengembangan GKJTU 2003–2028..
Untuk turut serta dalam karya penyelamatan Allah
di bidang politik GKJTU mengadakan pembinaan dan pelatihan di bidang etika
berpolitik dan kepemimpinan yang sesuai dengan nilai-nilai Kristiani, berangkat
dari PKH bidang politik (pert. 30-47). Nilai Kristiani itu dapat
dibahas secara terbuka dalam pembinaan warga gereja, tetapi akan terkandung
secara implisit dalam penyuluhan yang diselenggarakan oleh GKJTU bagi
masyarakat umum. GKJTU mendorong warganya untuk terlibat dalam kehidupan
berpolitik, setelah dibekali dengan etika politik itu. Melalui warganya dan
juga sebagai lembaga gereja, GKJTU mengangkat suara kenabian demi hak orang
miskin dan orang tertindas, tetapi juga untuk kebebasan beragama dan kebebasan
memberitakan Injil, bahkan untuk perlindungan seluruh ciptaan Tuhan.
5. Misi GKJTU di Bidang
Ekonomi
Salah satu bidang kehidupan masyarakat lainnya
adalah bidang ekonomi. Secara umum ekonomi Indonesia masih sangat
tergantung dari perusahaan asing dan semakin cenderung merusak semesta alam
(band. PKH, pert. 64) Selain itu ekonomi Indonesia diwarnai oleh
kenyataan bahwa perputaran keuangan di kota besar lebih cepat dan jauh lebih
banyak dibandingkan daerah pedesaan dan kota kecil. Di kota juga peluang usaha
lebih terbuka, tetapi persaingan dunia usaha lebih ketat pula, kesenjangan
ekonomi lebih tajam dan kemiskinan lebih parah. Tetapi sayangnya peluang usaha
itu masih kurang dimanfaatkan oleh warga GKJTU.
Terutama di daerah pinggir kota tanah pertanian
mulai berkurang karena digunakan untuk pemukiman, pabrik, dsb. Warga yang masih
memiliki tanah pun cenderung meninggalkan pekerjaan sebagai petani atau di
sektor riil lainnya. Mereka lebih menyukai pekerjaan di sektor jasa, baik
di pinggir kota maupun di desa, karena di mana-mana pekerjaan di sektor jasa
dan perdagangan lebih menguntungkan ketimbang pekerjaan di sektor riil, apalagi
di sektor pertanian. Maka terutama masyarakat pedesaan seringkali mengalami
kesulitan menjawab tantangan pasar bebas.
Khususnya gereja menghadapi pandangan bahwa
persoalan ekonomi dianggap tidak layak dipercakapkan di gereja sebagai lembaga
rohani, yang a.l. menghambat kemandirian dana di gereja. Kemandirian dana
gereja diperhambat juga oleh mentalitas manja dan lebih suka menerima ketimbang
berbagi atau memberi. Dalam hal ini perlu disadari pula bahwa 70% jemaat GKJTU
berada di daerah pedesaan, dan warga GKJTU berasal dari kelas menengah bawah
dan bawah, dengan 70% warga jemaat yang bekerja di bidang agraris, 30% sebagai
guru, PNS, buruh pabrik dll.
GKJTU dipanggil untuk melaksanakan misinya
mewujudkan karya penyelamatan Allah di bidang ekonomi, baik secara individual
maupun secara sosial, baik secara spiritual maupun material. Ekonomi
diperbaharui dengan memperdayakan masyarakat dan memperjuangkan kemandirian
ekonomi bagi setiap lapisan masyarakat yang juga ramah lingkungan. Sebagai
gereja pedesaan, misi GKJTU sejak Reijer de Boer secara khusus terfokus pada
bidang ekonomi pertanian.
Demi kemandirian gereja di bidang dana, GKJTU membangun ekonomi jemaat.
Untuk turut serta dalam karya penyelamatan Allah
di bidang ekonomi GKJTU mengadakan pembinaan dan pelatihan ekonomi umum,
pelatihan ekonomi koperasi, pelatihan pengelolaan
tanah serta pelatihan pertanian ramah lingkungan baik bagi warga gereja maupun
untuk masyarakat umum. Pelatihan tersebut diselenggarakan berdasarkan PKH
bagian ekonomi (pert. 48-55). Dalam rangka mewujudkan kemandirian dana
untuk jemaat, klasis dan sinode GKJTU, GKJTU mengadakan pelatihan ekonomi
gereja bagi warganya.
Lebih lanjut, GKJTU berinisiatif untuk membentuk
pelbagai macam koperasi serta jejaring produsen dan konsumen agar masyarakat
pedesaan lebih diuntungkan dalam pemasaran produk pertaniannya dan masyarakat
perkotaan bisa mendapat produk pertanian yang lebih bermutu dengan harga yang
lebih ringan. Ekonomi jemaat dibangun dengan pelbagai proyek kemandirian
gereja. Dengan demikian jemaat diberdayakan untuk membiayai usaha penginjilan
dan program peningkatan ekonomi masyarakat menjadi kesaksian hidup dalam rangka
penginjilan.
D. Penutup
Dunia sebagai sasaran Misi Integral
GKJTU terus berubah. Dalam dinamika perubahan yang demikian perlulah melakukan
penilaian dan pemikiran ulang konsep misi dan penerapannya (implementasinya).
GKJTU tidak sekedar menonton perubahan, melainkan secara aktif ikut
memperbaharui bidang budaya, pendidikan, sosial, lingkungan hidup, politik dan
ekonomi. Bidang-bidang tersebut diperbaharui melalui pelbagai kegiatan
pembinaan dan penyuluhan, baik untuk warga gereja maupun untuk warga
masyarakat. Akan tetapi, GKJTU juga menjalankan pelbagai program praktis,
terutama di bidang ekonomi, pertanian ramah lingkungan dan sebagainya. Pelbagai
kegiatan bagi dan bersama masyarakat menjadi kesempatan untuk bersaksi tentang
keselamatan dengan perbuatan dan dengan perkataan.
Tugas utama Gereja bagi dunia sesuai
dengan kehendak Allah adalah menciptakan tatanan dunia baru yang lebih baik,
baik secara individual maupun secara sosial, baik secara spiritual
maupun material “supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di
langit dan yang ada di atas bumi” (Fil. 2:10). Gereja tetap
perlu mereformasi dirinya untuk tetap bermakna dalam menjalani misinya yang
menjadi hakikat keberadaannya.
Pengantar
Tinjauan ini mulai dari zaman Ibu Le Jolle, lalu membagi sejarah GKJTU
dalam enam masa. Pada setiap masa langsung ditinjau hikmah mana yang masih
relevan untuk konteks sekarang. Sebagian bahan makalah ini memang diambil dari
buku Pengantar Sejarah Gereja Kristen Jawa Tengah
Utara (Permulaan Misi GKJTU), tetapi makalah ini lebih
terfokus pada konsep dan pelaksanaan misi. Karena misi tidak bisa dilepaskan
dari penginjilan, maka makalah ini sebenarnya membahas “misi dan penginjilan
dalam sejarah GKJTU”. Mengenai perbedaan dan kaitan antara misi dan penginjilan
nanti akan diterangkan lebih mendalam dalam makalah tersendiri.
1
Perkembangan
Misi GKJTU dalam sejarahnya
1.1
Misi dan
penginjilan pada zaman Ibu Le Jolle (1850-1857)
Menariknya, sejarah penginjilan di wilayah Jawa Tengah Utara mulai dari
penginjilan terhadap seorang Belanda bernama Ibu Elise Johanna Le Jolle. Bukan
Ibu Le Jolle mulai menginjili, tetapi pertama-tama ia sendiri diinjili di
perkebunannya dekat desa Simo. Biarpun keluarga Le Jolle sudah beragama
Kristen, Ibu E.J. Le Jolle sekitar tahun 1850 mengalami pertobatan secara
khusus, seperti yang ia tulis dalam catatan otobiografi. : “Di sana dalam
kesunyian, suara kasih begitu mendesak, Tuhan sejak lama sudah berusaha untuk
membangunkan iman di hati saya. Satu perasaan berdosa saya yang mendalam
membuat saya jatuh terduduk. Ketika saya kemudian membuka Alkitab saya dan
menemukan Joh.14, muncul ayat yang luar biasa: ‘Barangsiapa percaya kepada
Allah, percaya juga kepadaKu.’ Menghibur dan memberanikan jiwa saya dan
memenuhi saya dengan damai sejahtera, yang melampaui segala akal” (E.J. van
Vollenhoven, “Einiges aus dem Leben”, M.u.H., Juni 1906, kolom 116-117).
Melalui peristiwa itu menjadi jelas baginya, “bahwa orang-orang Jawa juga
mempunyai jiwa, yang seharusnya diselamatkan oleh Yesus, kalau tidak mau sesat
untuk selamanya.” (Ibid., kolom 117). Baru setelah Ibu Jolle mengalami
pembaharuan iman tersebut, ia mendapat minat dan semangat penginjilan atau
menjadi “mission minded”, menurut suatu istilah yang semakin dipopulerkan di
GKJTU dewasa ini.
Sesudah itu Ibu Le Jolle ingin mulai mengabarkan Injil kepada buruh-buruh
di perkebunannya. Tetapi ia mengalami rintangan karena para buruh itu amat
takut terhadap orang Belanda dan sulit didekati. Selain dari itu, Ibu Le Jolle
tidak bisa berbahasa Jawa, hanya Melayu (bahasa Indonesia) saja, sedangkan
pekerja-perkerja di kebun hanya mengerti bahasa Jawa. Tetapi tidak lama
kemudian Ibu Jolle dibantu oleh seorang penginjil Jawa bernama Petroes (atau
Pieter) Sadaya dari Majawarno (Jatim). Kerja sama antara Ny. Le Jolle dan
Petroes Sadaya adalah amat khas: Setiap minggu Ny. Le Jolle bersama Sadaya
membicarakan dalam bahasa Melayu satu tema Alkitab, yang kemudian Sadaya
khotbahkan di kebaktian pada hari Minggunya. Maka yang mempelopori, melayani
dan memimpin jemaat awal itu adalah Petroes Sadaya. Sedangkan Ny. Le Jolle
hanya mendukung dari belakang, membina dan menasehati. Sejauh mana pemberitaan
Injil secara lisan juga disertai kesaksian melalui perbuatan sayangnya tidak
tercatat dalam dokumen sejarah. Hanya dapat diduga saja bahwa Ibu Le Jolle juga
memperlakukan buruhnya lebih baik dibandingkan tuan-tuan dan nyonya-nyonya
pemilik perkebunan sebelumnya. Juga tidak tercatat apa yang menjadi pendorong
utama bagi mereka yang memilih untuk memeluk iman Kristen. Yang pasti,
pelayanan Petroes Sadaya dengan bantuan Ibu Le Jolle membuahkan sekitar 50
orang Kristen sampai tahun 1857.
Dalam catatan singkat ini terdapat beberapa prinsip yang pasti berlaku
sampai sekarang:
1)
Warga GKJTU
(atau orang Kristen siapapun) yang sekedar beragama Kristen, yang sekedar
pernah dikristenkan dengan sakramen baptis, orang Kristen KTP, (seperti Ibu Le
Jolle sebelum tahun 1850) tidak mungkin menjadi pelaksana misi kalau mereka
tidak terlebih dahulu mengalami kelahiran baru dan menjadi sungguh-sungguh
percaya seperti Ibu Le Jolle. Maka Depkes akhir-akhir ini semakin giat
menyelenggarakan KKR di jemaat-jemaat GKJTU untuk terlebih dahulu membangkitkan
iman dalam hati warga GKJTU.
2)
Ibu Jolle
yakin bahwa setiap manusia harus “diselamatkan oleh Yesus, kalau tidak mau
sesat untuk selamanya.” Soalnya, seandainya di luar Yesus juga ada
keselamatan – buat apa mengajak orang percaya kepada Tuhan Yesus? Atau dengan
kata-kata Pelengkap Katekismus Heidelberg, pert. 22: “Iman Kristen
menegaskan, keselamatan hanya dapat diperoleh di dalam hidup dan mati Tuhan
Yesus Kristus.” (dengan mengutip KPR 4:12; Yoh. 3:16).
3)
Untuk
menyentuh hati manusia seorang penginjil harus mengakrabkan diri dengan orang
yang mau diinjili dan juga harus memahami serta bisa menggunakan bahasa mereka
– entah itu bahasa Jawa Krama halus, entah itu bahasa Indonesia brokem.
Kadang-kadang perlu juga pembagian tugas dan kerja sama antara pelayan Tuhan
dengan pelbagai karunia, seperti antara Ibu Le Jolle dan Petroes Sadaya.
Sayangnya, setelah Ibu Le Jolle pulang ke Belanda tahun 1857 terjadi
konflik antara Petroes Sadaya dan misionaris Hoezoo yang mengakibatkan Petroes
Sadaya dipecat oleh Hoezoo dan misi yang dimulai bersama Ibu Le Jolle tersendat
sampai tahun 1869. Kemudian jemaat Ermelo mengutus misionaris Reijer de Boer,
seorang petani yang merasa terpanggil untuk melayani jemaat Njemoh Salatiga dan
tiba di Njemoh Salatiga tanggal 4 Juni 1869.
Pendekatan penginjilan yang dipakai oleh de Boer amat lazim pada akhir abad
ke-19: De Boer membeli tanah dari pemerintah Belanda. Keluarga-keluarga yang
ingin menempati tanah baru itu diperlengkapi oleh de Boer dengan kerbau
dan alat-alat pertanian. Pinjaman itu seharusnya mereka kembalikan nanti, kalau
mereka mampu. Sebagai balas budi orang-orang Jawa itu berjanji untuk datang ke
gereja dan menyekolahkan anak-anaknya. Maka de Boer mengembangkan sekolah juga.
Tetapi yang paling khas dalam pendekatan ini adalah bahwa orang dibantu bertani
jika mereka berjanji untuk datang ke gereja. De Boer dengan latar belakang
sebagai petani merasa sangat cocok dengan methode (pendekatan) ini. Demikianlah
di bidang-bidang tanah yang dibeli dan dibuka itu muncul desa-desa Kristen.
Selain dari Njemoh-Wonorejo, de Boer mendirikan desa Kristen di Kaliceret,
Tjemee, Tugu dan beberapa tempat lain. Dalam segala upaya perintisan itu Tn. de
Boer dibantu oleh Guru Injil Jawa yang bernama Elias, Yosef dan Lewi yang sudah
disebutkan tadi. Menariknya, pendekatan ini ada juga unsur spiritual: Untuk
mendirikan desa tersebut de Boer harus membuka hutan di tanah yang dibeli
dari pemerintah Hindia Belanda. Menurut kepercayaan orang Jawa waktu itu hutan
dikuasai oleh danyang penunggu hutan itu. Siapapun yang berani membuka hutan
harus terlebih dulu mengalahkan danyang itu dan sangat disegani oleh masyarakat
sebagai penguasa baru di desa tersebut, termasuk de Boer di Jateng serta
J. Emde dan C.L. Coolen di Jatim.
Dari periode ini pun beberapa hikmah lagi bisa diambil:
4)
Sejak awal
misi di wilayah GKJTU bersifat holistik dan membantu a.l. untuk mengembangkan
pertanian. Namun, misi diakonia seperti itu selalu ada risiko untuk memanjakan
orang dan menciptakan ”Kristen nasi”, orang Kristen yang ingin diberi dan
dilayani, bukan memberi dan melayani. Para pendeta GKJTU kemudian harus
berjuang bertahun-tahun untuk menghilangkan sikap manja itu dari jemaat-jemaat
yang dirintis oleh Rijer de Boer.
5)
Misi sering
ada unsur peperangan rohani. Dengan membuka hutan para perintis misi pada abad
ke-19 tidak hanya membawa ajaran Kristen dan kemajuan lahiriah, melainkan juga
terbukti mengalahkan kuasa spiritual. Pekabaran Injil senantiasa merupakan
pertempuran dengan kuasa spiritual.
1.3
Misi pada
zaman Salatiga Zending (1888-1942)
Karena
pelayanan di Jawa Tengah semakin berkembang, Tn. de Boer serta penginjil-penginjil
pribumi tidak bisa melayani jemaat-jemaat yang semakin luas itu. Ny. Van
Vollenhoven alias Le Jolle menghubungi ‘Lembaga Pelayanan Yatim Piatu dan Misi’
(bhs. Jerman: ‘Waisen- und Missionsanstalt’) di kota Neukirchen, Jerman (yang kemudian menjadi Neukirchener
Mission), dan pada 6 Agustus 1884 misionaris NM pertama
tiba di Jawa, yaitu pasangan suami-isteri Tn. Reginus Johannes Horstmann dan Ny. Elisa Horstmann, dan pada
tahun-tahun berikutnya beberapa misionaris lagi diutus oleh Neukirchener Mission. Utusan-utusan
Neukirchener Mission ini pada bulan
Juni tahun 1888 mendirikan ‘De Bond van Zendelingen van de Salatiga Zending op
Java’ (bhs. Belanda: ‘Perserikatan Para
Misionaris Salatiga Zending Di Jawa’ – biasanya disebut ‘Salatiga Zending’).
Namun, para
misionaris Eropa itu sulit menginjili orang Jawa secara langsung. Seperti yang
sudah disebutkan di atas, orang Jawa entah lari dari orang Eropa atau menjawab
“inggih, inggih” saja. Hanya Guru Injil Jawa yang dapat sungguh memahami dan
mencapai hati orang Jawa. Sehingga para misionaris amat tergantung pada Guru
Injil Jawa. Awalnya masing-masing misionaris membina guru Injilnya sendiri,
tetapi untuk membina para guru Injil itu dengan lebih baik, para misionaris
membuka pusat pembinaan Guru Injil bernama “Sabda Moelya” di Ungaran pada tahun
1912.
Sesuai
dengan “politik etis” yang digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun
1901, para misionaris Salatiga Zending / Neukirchener
Mission membuka rumah sakit di Purwodadi (1903), Blora (1912)
dan Bojonegoro (1919), empat rumah sakit pembantu (yang tidak memiliki dokter
tetap melainkan dipimpin oleh suster-suster dan hanya secara rutin dikunjungi
oleh dokter dari ketiga rumah sakit tersebut) serta beberapa poliklinik. Namun,
para dokter dan suster sering merasa merawat simptom-simptom saja: Kebanyakan
penyakit disebabkan oleh cara hidup yang kurang sehat, terutama di desa-desa,
tetapi mereka tidak bisa menyentuh akar rumput untuk memperbaiki cara hidup
yang kurang sehat itu. Atau dengan kata-kata Dr.med. Alexander Fritz,
seorang ahli misi medis: “Pada tahun 1933 misalnya 10.788 injeksi salavarsan
diberikan .... untuk mengobati penyakit frambosi .... Tetapi semua injeksi
salavarsan itu tidak dapat merubah situasi kurang higienis di mana-mana di
desa-desa: tidak ada air minum bersih apalagi saluran air minum, tidak ada WC,
kolam desa berfungsi sekaligus sebagai timbunan air minum, tempat mandi, tempat
cuci dan WC.” Selain itu Salatiga Zending juga mendirikan beberapa
sekolah-sekolah zending. Sedangkan pendekatan mendirikan desa Kristen (yang
dulu dipakai oleh de Boer) sama sekali tidak digunakan lagi.
Pelayanan
sekolah zending tersebut sangat diminati oleh masyarakat Tionghoa, karena
mereka kurang puas dengan sekolah pemerintah Hindia Belanda ataupun sekolah yang
didirikan oleh pelbagai organisasi masyarakat Tionghoa sendiri. Khususnya di
kota Salatiga, Blora, Purwodadi, Pemalang, Bojonegoro dan kota-kota lainnya
pelayanan Salatiga Zending tidak lagi terbatas kepada orang Jawa saja,
melainkan mereka melayani orang Tionghoa juga, sehingga timbullah jemaat
campuran dengan warga Jawa, warga Tionghoa dan warga dari etnis lainnya. Jemaat
di Semarang malah terdiri dari orang Ambon, orang Menado, orang Tionghoa, orang
Jawa, orang Eropa dan orang Indo. Biarpun para misionaris berusaha keras untuk
mempersatukan semua etnis itu dalam satu jemaat, tetapi pada tahun 30an, orang
Tionghoa dan orang Jawa membentuk jemaat sendiri-sendiri, yang kemudian juga
membentuk sinode-sinode yang berbeda-beda: Sebagian jemaat Tionghoa bergabung
dengan Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee
(sekarang GKI) dan sebagian
lainnya bergabung dengan sinode yang sekarang dikenal sebagai Gereja Kristus Tuhan, GKT. Sedangkan jemaat-jemaat Jawa sebagian
membentuk GKJTU, sebagian bergabung dengan GKJ. Pada masa itu sepertinya justru
orang Tionghoa lebih bersemangat mendirikan gereja bagi etnis mereka sendiri
saja (monoethnis) dibandingkan orang Jawa. Sedangkan dewasa ini GKI dan GKT
sudah terdiri dari pelbagai suku (multietnis), tetapi GKJTU dan GKJ masih amat
didominasi oleh orang Jawa.
Pelajaran yang bisa diambil dari periode ini adalah:
6)
Paling tidak
sejak awal abad ke-20 unsur diakonia semakin jelas menjadi salah satu dimensi
misi Salatiga Zending selaku cikal bakal GKJTU. Dalam melaksanakan diakonia
itu, para misionaris sudah menyadari bahwa terutama pelayanan medis masih
bersifat karitatif (membantu para korban tanpa mencabut akar permasalahan), dan
sebenarnya perlu dikembangkan menjadi diakonia reformatif (membimbing para
korban agar tidak bermasalah lagi) atau bahkan transformatif (merubah struktur
yang bermasalah). Sekolah-sekolah zending sudah mengarah ke diakonia reformatif
itu. Tetapi diakonia yang lebih reformatif dan transformatif baru bisa dimulai
pada akhir abad ke-20 / awal abad ke-21.
7)
Sejak zaman
Ibu Le Jolle dan lebih nampak lagi pada zaman Salatiga Zending, kerja sama
antara penginjil lapangan dengan para pembina. Orang Jerman dan orang Belanda
yang disebut “misionaris” sebenarnya tidak melaksanakan misi dan penginjilan
secara langsung, melainkan mereka lebih berfungsi sebagai konseptor (perancang)
dan pembina untuk para guru Injil Jawa sebagai ujung tombak misi. Dewasa ini
tenaga asing di GKJTU tinggal 1-2 orang saja. Tetapi kerja sama antara
konseptor misi, pembina misi dan pelaksana misi tetap penting, biarpun semuanya
orang Indonesia.
8)
Setelah
“ditinggal” oleh orang Tionghoa, GKJTU secara de fakto menjadi gereja
monoetnis, biarpun keadaan itu bukan sesuatu yang diinginkan apalagi
direncanakan sebelumnya. Sekarang pun GKJTU menegaskan di Pelengkap
Katekismus Heidelberg, jawaban untuk pertanyaan no. 16: “Meskipun Gereja Kristen Jawa Tengah Utara lahir di tanah Jawa
dan mayoritas anggotanya adalah orang Jawa, namun GKJTU dari dulu sampai
sekarang mencakup juga etnis Tionghoa, Batak, Ambon, Sangir, Toraja, Bali dan
pelbagai etnis lainnya. Gereja Kristen Jawa Tengah
Utara memang berpusat di Jawa Tengah bagian Utara, tetapi
GKJTU bukan gereja etnis Jawa. … Bahasa-bahasa dan seni budaya dihayati sebagai
wahana untuk menyembah Tuhan.” Namun, pernyataan teoretis itu masih perlu
semakin dihayati dan diimplimentasikan di jemaat-jemaat GKJTU.
1.4
Misi
Parepatan Agung / GKDTU yang mandiri (1937-1965)
Jemaat-jemaat
yang dirintis bersama oleh para misionaris dan guru Injil Salatiga Zending
kemudian satu demi satu menjadi jemaat mandiri di bawah pimpinan pendeta dan
majelis pribumi. Pada bulan Maret 1937 wakil
jemaat-jemaat mandiri itu dan para misionaris berkumpul untuk mendirikan ‘Raad Agoeng’ (bhs. Jawa: ‘Parepatan Agoeng’) di jemaat
Purwodadi. Sinode yang didirikan itu pada tanggal 20 April 1949 secara resmi diberi nama “Geredja Kristen Djawa
Tengah Utara (GKDTU), tetapi dalam bahasa sehari-hari masih lama disebut
“Parepatan Agoeng” (PA).
Sayangnya tidak banyak diketahui tentang pelaksanaan misi GKDTU-PA itu,
dokumen-dokumen sejarah lebih banyak membahas pertikaian antara GKDTU/GKJTU dan
GKD/GKJ. Tetapi para saksi sejarah masih ingat bahwa Pdt. Kartosugondo
misalnya mengabarkan Injil di daerah Kendal bersama dengan “kelompok
Kyai Sadrakh”, jemaat yang dulu dirintis oleh seorang penginjil Jawa bernama
Kyai Sadrakh, kemudian dikucilkan oleh zending gereformeerd dan akhirnya
bergabung dengan Gereja Rasuli. Juga
di banyak tempat lain penginjilan sering dilakukan dalam semangat oikumene dan
kerja sama. GKDTU sebenarnya sudah ingin bergabung dengan DGI yang didirikan
pada 25 Mai 1950, namun upaya itu digagalkan oleh GKD/GKJ.
Sejak awal pemahaman misi dan penginjilan GKDTU/GKJTU dirumuskan di tata
gerejanya, seperti misalnya dalam Pranatané pasamoewan Kristen Salatiga Zending
dari tahun 30an, bab V, pasal 31-32:
V. Bab goemelaring Indjil
31. Pasamoewan
koedoe mrelokaké ngabari wong kang doeroeng mratobat, martakaké pangandikané
Goesti Sang Pamarta; soepaja bisaa kelakon mangkono, saben liding pasamoewan
perloe dadi seksiné Sang Kristoes, ija ikoe Sang Djoeroe Slamet srana
pitemboengan lan kalakoeané, sabab pada éling ing pangandikane Goesti: “Nanging
samasa woes pada katedakan ing Roh Soetji, kowé bakal pada kaparingan kasektèn;
temahan pada dadi seksikoe ana ing Jeroesalèm lan ing sawratané tanah Joedéja
toewin ing Samarija, sarta toemeka ing poengkasane Boemi.” Lelam. 1:8
32. Soepaja
prakara maoe bisaa kelakon, prajoga warganing pasamoewan nindakaké prakara
roepa2, kajata: tilik sedoeloer ing omahé, niliki wong lara, gawé
koempoelan (kedjiba kang loemrah kelakon). Apa manèh koedoe seneng amratakaké
sakèhing wewantjané wong Kristen. Kabèh maoe koedoe dilakoni mitoeroet
pranataning pasamoewané, mawa2 kabisané, panggonané lan kaanané
warga déwé2.
Dalam Anggaran Dasar
G.K.J.T.U ... PA dari tahun 1963, ps. 2-4 (yang hanya sedikit direvisi
pada tahun 1978), misi dan pemberitaan Injil dari awal disebutkan sebagai
dasar, tujuan dan usaha GKJTU:
Pasal 2
Dasarnya (Grondslag)
Dasarnya Gereja Kristen
Jawa Tengah Utara ini ialah:
Melaksanakan dan mentaati Firman Tuhan yang
termaktub dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru berdasarkan atas:
a.
....
(Matius 22:37-39)
b.
Kesaksian
bahwa Tuhan Yesus Kristus ialah Anak Allah dan Juruselamat dunia
(Yahya 1:34 dan I Yahya 4:14)
c.
Doa Tuhan
Yesus menurut Yahya 17:21: “supaya semuanya jadi satu juga sama seperti
Engkau di dalam Aku, ya Bapa, dan Aku pun di dalam Engkau, supaya mereka itu
pun jadi satu di dalam Kita, sehingga isi dunia ini percaya bahwa Engkaulah
yang menyuruh Aku”.
d.
Pengakuan
Iman Rasuli ...
Pasal 3
Tujuan (doel)
Gereja
tersebut mempunyai tujuan:
a.
Melanjutkan
usaha-usaha Salatiga Zending
b.
....
c.
Memberitakan
Injil kepada Masyarakat Indonesia
d.
Membentuk
Jemaat-jemaat Kristen yang Esa dimana-mana ... (di wilayah Negara Republik
Indonesia)
Pasal 4
Usaha-usahanya
Untuk mencapai tujuan itu, GKJTU
berusaha dengan jalan:
....
c.
Memperluas
dan memperdalam Pekabaran Injil diseluruh tempat, ...
d.
...
e.
...
f.
...
g.
Menyelengarakan
Yayasan untuk sosial dan ekonomi, ialah Sekolah-sekolah Dana Pitulungan,
memelihara orang-orang miskin, orang ropoh (tua), cacad, anak-anak piatu
(yatim), Kesehatan (Poliklinik), Rumah Sakit dan lain-lainnya ...
Oleh sebab itu, juga
setiap warga GKJTU menurut Anggaran Rumah Tangga G.K.J.T.U tahun 1963
mempunyai kewajiban:
Nandukake katresnan lan merlokake becike Pasamuwan
tuwin becike brayate dhewe-dhewe, apa maneh ngudi bab gumelaring Kratone Gusti
Allah (Pr.Rasul 2:42-47; I Petrus 3:8-12; Galati 5:13-26).
Jadi, pada masa ini
ciri-ciri misi khas GKJTU sudah mulai semakin kelihatan:
9)
Misi dan
penginjilan sejak awal dipahami sebagai pelayanan menyeluruh (holistik), bukan
hanya sebagai pemberitaan lisan saja bukan juga sebagai kesaksian melalui
perbuatan melulu, melainkan sebagai kesaksian “srana pitemboengan lan
kalakoeané” (Pranatané pasamoewan Kristen Salatiga Zending). Dan
kesaksian itu jelas bertujuan untuk membuat orang bertobat pada Kristus dan
merintis jemaat baru, tetapi juga demi “gumelaring Kratone Gusti Allah” (Anggaran
Rumah Tangga G.K.J.T.U tahun 1963). Biarpun GKJTU pada masa itu sebenarnya
tidak sanggup membuka rumah sakit, panti jompo dsb., GKJTU tetap menyebutkannya
sebagai sarana misi di Anggaran Dasar GKJTU tahun 1963.
10)
Sebagai
strategi khas Jawa, penginjilan di tanah Jawa sering mengikuti jalur dan
hubungan kerabat keluarga, apalagi karena orang Jawa merasa berhubungan
keluarga semua (kalau ditelusuri cukup jauh). Maka salah satu strategi yang
diusulkan di Pranatané pasamoewan Kristen Salatiga Zending adalah “tilik
sedoeloer ing omahé”. Sebagai strategi kedua, orang sengsara menjadi sasaran
penginjilan, a.l. dengan cara “niliki wong lara”, lalu yang tertarik pada kabar
Injil dikumpulkan dalam persekutuan atau “koempoelan ... kedjiba kang loemrah
kelakon”. Strategi khas Jawa ini amat berbeda dengan strategi penginjilan “dari
rumah ke rumah” secara sembarangan (“door-to-door-ministry”).
11)
Paling tidak
sejak Anggaran Dasar G.K.J.T.U ... PA dari tahun 1963, misi GKJTU tidak
dibatasi pada wilayah Jawa Tengah Utara, biarpun jemaat yang dirintis di luar
wilayah Jawa Tengah Utara sengaja disebut “Jemaat-jemaat Kristen yang Esa”
bukan “jemaat GKJTU” atau jemaat PA”. Maka dari awal misi dan penginjilan GKJTU
dilaksanakan dalam semangat oikumene, biarpun semangat oikumene itu sering
terhambat oleh pertikaian antara GKJTU dan GKJ.
Setelah
peristiwa G30S pemerintah Indonesia mewajibkan setiap warga negara untuk
memeluk salah satu dari agama Islam, agama Budha, agama Hindu, agama
Kristiani-Katolik ataupun agama Kristiani-Protestan (“agama Kristen”).
Sedangkan kepercayaan kejawen / aliran kebatinan tidak diakui sebagai agama.
Tetapi bahkan sebelum peraturan tersebut dimaklumkan banyak orang Jawa sudah
memilih mengikuti Kristus karena mereka muak dengan fanatisme kelompok agama
lain yang membasmi orang Komunis dan agak memaksa orang abangan menjadi pemeluk
agama yang taat. Maka di tengah kekacauan sesudah peristiwa G30S hampir dua
juta orang Jawa abangan menjadi pengikut Kristus.
Faktor-faktor yang mendukung
penginjilan pada waktu itu adalah antara lain:
a. Pemerintah Republik Indonesia tidak membatasi pekabaran Injil
Kristus melainkan malah mendukungnya. Para penginjil (seperti penyebar agama
lain) sering diiringi ABRI.
b. Di tengah ketidakpastian sesudah peristiwa G30S orang mencari
pegangan dan damai sejahtera dalam berita Injil
c. Melihat kekecaman pihak tertentu terhadap orang Komunis,
banyak orang justru terkesan dengan kasih orang Kristen
d. Ketika orang abangan mau dipaksakan untuk mengikuti agamanya
lebih sirius, mereka justru meninggalkan agama itu dan mengikuti Kristus
e. Orang menganggap agama Kristen sebagai agama yang paling
“ringan” dan gampang. Maka waktu pemerintah Indonesia menyuruh mereka untuk
memilih salah satu agama, mereka memilih agama Kristen.
Pada waktu itu, strategi penginjilan bisa dilakukan amat sederhana: Tim
peninjilan GKJTU dengan bebas bisa masuk ke desa-desa dan memberitakan Injil di
tempat umum. Seringkali masyarakat desa mengambil keputusan kolektif memilih
beragama Kristen, lalu mereka dibaptis secara massal. Tetapi dalam situasi
inipun kesaksian hidup orang Kristen berperan juga. Penginjilan GKJTU di lereng
Merbabu begitu berhasil oleh karena kesaksian hidup seorang mantri kesehatan
bernama Pak Isai yang sangat mengesankan masyarakat di lereng Merbabu.
Pada saat
itu GKJTU menerima banyak warga baru, misalnya di
wilayah lereng Merbabu (Salatiga dan sekitarnya)
berdiri 25 Jemaat dan 11 pepantan baru, di mana sebelumnya (jemaat zending)
baru 5 jemaat, sehingga klasis Kopeng dan klasis
Getasan semata-matanya terdiri dari jemaat baru tersebut. Secara keseluruhan GKJTU
bertumbuh dari sekitar 2.400 warga (tahun 1965) menjadi 16.846 jiwa (tahun
1971).
Perlu
dicatat pula bahwa pada tahun 1963/64 hubungan dengan Neukirchener
Mission dibuka kembali dan dua tenaga misionaris NM ikut
memetik buah penginjilan pasca-G30S, yaitu Pdt. Ingo Garthe serta kel.
(1966-1974) dan Pdt. Klaus Seidlitz serta keluarga (1968-1973). Pada masa-masa ini GKJTU membuka diri dan ikut terjun ke
"dunia oikumenis" dan sampai pula puncaknya pada tanggal 22 April
tahun 1972 diterima sebagai anggota Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (sekarang Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia – PGI) menjadi anggota DGI No. 42.
Biarpun situasi pasca-G30S adalah masa yang sangat istimewa dalam sejarah
misi Kristiani, namun tetap ada bebera prinsip yang tetap relevan sampai
sekarang:
12)
Seolah-olah
kebebasan ber-PI pada masa pasca-G30S tidak mungkin terulang lagi di masyarakat
Indonesia. Tetapi perlu dicatat bahwa pada masa itu banyak orang Jawa menjadi
Kristen karena mereka muak dengan fanatisme kelompok lain, karena orang Jawa
pada dasarnya membenci segala bentuk fanatisme. Biarpun dewasa ini kelompok
fanatik semakin giat dan seolah-olah semakin menguasai kehidupan politik dan
masyarakat, tidak mustahil bahwa fanatisme mereka pada akhirnya justru akan
“menguntungkan” pekabaran Injil sekali lagi.
13)
Biarpun
situasi pasca-G30S sangat mendukung pekabaran Injil, keberhasilan penginjilan
tetap tergantung juga kesiapan gereja untuk menanggapi situasi itu. Maka setiap
jemaat GKJTU perlu senantiasa siap untuk menangkap bola ketika situasi luar
biasa seperti itu akan terjadi lagi.
1.6
Misi GKJTU
yang direformasi (1984-2009)
Pada Sidang Sinode ke XXII (Istimewa) GKJTU tahun 1984, GKJTU seia sekata
untuk sungguh-sungguh mengadakan pembaharuan- pembaharuan yang berarti, dan
pembaharuan itu lebih dimantapkan lagi melalui Sidang Sinode XXIII Juli 1988 di
Kopeng. Sidang Sinode XXIII itu a.l. menerima Tata Dasar – Tata Laksana yang
baru, yang juga lebih menjelaskan pemahaman penginjilan. Biarpun TTD-TTL
direvisi lagi pada Sidang Sinode XXV tahun 1998 dan pada Sidang Sinode XXVII
tahun 2008, bagian tentang misi dan penginjilan tidak mengalami perubahan yang
signifikan.
1.6.1
Misi menurut
Tata Dasar GKJTU yang baru
Dari awal TTD GKJTU Bab II, ps. 4, sudah menjelaskan tentang
panggilan GKJTU: “GKJTU terpanggil untuk menyaksikan atau memberitakan Injil
yaitu kabar kesukaan yang menyelamatkan manusia; dan berdasarkan kasih melayani
sesama didalam segala bidang kehidupan manusia di dunia ini (Yoh. 13:1-20;14; Mat.
22:37-40; 28:19).”
Misi pemberitaan Injil
dan pelayanan kasih (diakonia) serta misi pendirian jemaat diterangkan lebih
lanjut sebagai “usaha-usaha” GKJTU di TTD GKJTU, bab XIV, ps. 42-44:
Pasal 42
Pelayanan dan Pendirian
Jemaat
GKJTU memimpin, melayani dan membangun jemaat-jemaat bekas Salatiga
Zending, yang menjadi wilayah pelayanannya; dan memimpin, melayani, membangun
dan mendirikan jemaat-jemaat, pepanthan-pepanthan dan warga marenca buah
kesaksian/pekabaran Injil dan pelayanan.
Pasal 43
Pemberitaan Injil
Sesuai dengan Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus Juru Selamat dan Kepala
Gereja, GKJTU memberitakan Injil bagi semua orang.
Pasal 44
Pelayanan Diakonia
GKJTU melaksanakan pelayanan diakonia dengan cara:
n Melakukan usaha-usaha sosial,
n Melakukan usaha-usaha ekonomi,
n Melakukan usaha-usaha kesehatan,
n Melakukan usaha-usaha pendidikan,
n Melakukan usaha-usaha pelayanan bagi: kaum
janda/duda, yatim-piatu dan orang-orang menderita serta usaha-usaha lainnya
yang bersifat diakonal.
Usaha-usaha tersebut
lebih dioperasionalkan lagi di TTL GKJTU, bab XIV, ps. 56-57:
Pasal 56
Pemberitaan Injil
Ayat
1:Pemberitaan
Injil (PI)/kesaksian adalah pemberitaan tentang Tuhan Yesus Kristus dan
pekerjaanNya seperti yang tersebut dalam Alkitab.
Ayat
2:Pemberitaan
Injil (PI) /kesaksian itu adalah panggilan bagi semua orang percaya baik
sendiri maupun bersama dan ditujukan kepada semua orang di dunia ini.
Ayat
3:Pemberitaan
Injil (PI)/kesaksian dilakukan dengan percakapan-percakapan dari pribadi kepada
pribadi dan dengan berbagai usaha lainnya dengan berbagai cara yang bersifat PI
/kesaksian.
Ayat
4:Orang
yang mendengar Injil dan yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus Kristus
dibimbing untuk memasuki jemaat Kristen untuk menjadi 1(satu) dalam persekutuan
tubuh Kristus.
Ayat
5:PI/Kesaksian
dilakukan oleh:
1. Semua warga jemaat/gereja.
2. Majelis Jemaat dan badan-badan
majelis jemaat.
3. Klasis dan badan-badan pembantuk
klasis.
4. Sinode dan badan-badan pembantu
sinode.
Pasal 57
Pelayanan Diakonia
Ayat
1:Pelayanan
Diakonia adalah segala usaha dan pekerjaan yang dilakukan dalam menyatakan
kasih kepada sesama manusia.
Ayat
2:GKJTU
melakukan pelayanan Diakonia seperti yang tercantum dalam TATA DASAR GKJTU BAB
XIV Pasal 44.
Ayat
3:Untuk
memujudkan pelayanan Diakonia dengan baik, jemaat, klasis dan sinode dapat
membentuk badan-badan Diakonia, yayasan-yayasan dan lain-lain.
1.6.2
Misi menurut
Rencana Induk Pengembangan GKJTU
Rencana Induk Pengembangan GKJTU 2003-2028 dalam Bab V menerangkan “Visi dan Misi GKJTU
2003-2028”
dengan visi: “Menuju Gereja yang Dewasa, Mandiri, dan Misioner”. Lalu hakekat
Gereja yang misioner itu diterangkan di Bab V.B.3, dan misi GKJTU
dijabarkan sebagai Misi Penciptaan, Misi Pembebasan, Misi Kehambaan, Misi
Rekonsiliasi serta Misi Kerajaan Allah.
Pemahaman misi ini sering dibahas dalam pelbagai acara pembinaan sejak tahun
2003. Juga dalam pelaksanaan misi, misi penciptaan semakin diimplementasi mis.
melalui pertanian organik, biogas dsb. Misi Pembebasan dijalankan dalam bentuk
penyuluhan hukum serta lokakarya tentang kekerasan, tentang hak wanita dsb.
Dengan demikian TTD-TTL GKJTU dan RIP GKJTU menjadi dua dokumen yang saling
melengkapi: Menurut TTD-TTL, misi GKJTU sangat
berpusat pada penginjilan, kata ”misi” maupun ”misioner” bahkan sama sekali
tidak disebutkan di TTD-TTL GKJTU.
Sebaliknya, RIP GKJTU banyak berbicara tentang misi, tetapi jarang
menyebutkan tentang penginjilan. Dalam RIP GKJTU pemberitaan Injil hanya
disebutkan dalam rangka membahas “penggunaan bentuk-bentuk kesenian lokal untuk
sarana pewartaan Injil” (Bab III.D.1); demikian pula “semangat pekabaran
Injil”
disebutkan sebagai salah satu ciri GKJTU dalam rangka membahas “kontribusi
GKJTU dalam gerakan kemitraan dan oikomene” (Bab III.F). Atau disebutkan bahwa
GKJTU sebagai gereja “kerakyatan” di tengah masyarakat toleran bisa menggunakan
situasinya sebagai “peluang ... untuk dapat mengabarkan berita kesukaan
Injil kepada masyarakat sekitar dengan cara-cara yang santun.”
(Bab IV.C.2).
Dengan demikian pemahaman misi di TTD-TTL GKJTU
dan di RIP GKJTU dari satu segi memang saling melengkapi, tetapi oleh warga
jemaat dapat juga disalahfahami seolah-olah dua dokumen GKJTU tersebut
menyajikan pemahaman yang berbeda atau bahkan bertolak belakang. Perbedaan
tekanan itu kemudian menjadi salah satu pendorong untuk menyusun satu dokumen
Konsep Misi GKJTU yang memadukan pemahaman misi di TTD-TTL GKJTU, di RIP GKJTU
serta pemahaman misi di dokumen-dokumen GKJTU lainnya.
1.6.3
Misi menurut
Pelengkap Katekismus Heidelberg
Sidang Sinode XXVI tahun 2003 menugaskan MPH GKJTU
untuk merancang Supplemen Katekismus Heidelberg, dan Sidang Sinode XXVII tahun
2008 dapat mengesahkan Pelengkap Katekismus Heidelberg (PKH) itu. PKH
sebenarnya membahas misi GKJTU dari pelbagai segi, salah satu yang terpenting
adalah:
24. Pertanyaan: Dalam
kondisi keberagaman agama, masing-masing umat agama melakukan penyebaran agama.
Ini bisa menimbulkan konflik antarumat beragama. Lalu, bagaimana gereja
melakukan pewartaan Injil di tengah keberagaman itu?
Jawab: Pada dasarnya setiap umat
beragama berhak untuk melakukan penyebaran agama, termasuk umat Kristen.
Setiap orang Kristen mempunyai tugas mewartakan Injil, yaitu berita kesukaan
mengenai keselamatan.a Pewartaan Injil jangan sekadar menjadikan
orang lain beragama Kristen. Pewartaan Injil adalah menabur berita kesukaan
dengan menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah.b Atas dasar
itulah, berita Injil bersifat tawaran, bukan paksaan. Maka itu harus dilakukan
dengan bijak dan santun, dengan menghargai keberadaan umat agama lain. Tugas
terpenting orang Kristen adalah menabur berita Injilc dengan upaya
serius dan berdoa. Biarlah Tuhan sendiri yang akan menumbuhkannya. Keputusan
seseorang menerima berita Injil adalah keputusan pribadi yang digerakkan oleh
kuasa Allah.d Orang Kristen dipanggil untuk berupaya melakukan
kesaksian.e
_____________
a.
Markus 16:15
....
(band.
Katekismus Heidelberg, pert. 65)
b. Roma 14:17... .
c.
Markus 4:26-32: ....
d. Yohanes
6:44: ...
Yohanes 6:65: ...
e.
1 Timotius 4:12b: ... (band. 1 Petrus 3:1-2)
Tetapi sebenarnya setiap bagian PKH menjelaskan bagaimana orang Kristen
melaksanakan misi di bidang budaya, politik, ekonomi, iptek di kondisi
kemajemukan agama. Namun, makalah ini tidak cukup untuk membahasnya satu per
satu.
2
Kesimpulan
umum
Pada intinya, jantung misi GKJTU adalah pekabaran Injil, dengan tujuan
supaya orang “menjadi percaya kepada
Tuhan Yesus Kristus” dan “dibimbing untuk memasuki jemaat Kristen”, dengan
metode “percakapan-percakapan dari pribadi kepada pribadi dan dengan berbagai
usaha lainnya” (TTL GKJTU, bab XIV, ps. 56, ay 3-4)
Sebagai tindak lanjut penginjilan, GKJTU memuridkan atau membina orang yang
telah menjadi percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, agar seluruh warga GKJTU
mewujudnyatakan keberadaan mereka sebagai terang dan garam masyarakat, sebagai
pelayanan diakonia dan sebagai misi rekonsiliasi, misi pembebasan dan misi
penciptaan. Agar semakin banyak orang “menjadi
percaya kepada Tuhan Yesus Kristus” dan “dibimbing untuk memasuki jemaat
Kristen”.
Pemahaman dasar dari TTD-TTL ini sudah sangat dilengkapi di PKH dan di RIP
GKJTU. Pranatané pasamoewan Kristen Salatiga Zending dari tahun 30an,
bab V, pasal 31-32, juga tetap relevan untuk merumuskan pemahaman misi khas
GKJTU. Selain itu ada pelbagai pengalaman praktis yang dijadikan unsur
pemahaman misi khas GKJTU. Seluruh unsur tersebut akhirnya dipadukan menjadi
dokumen “Konsep dan Strategi Misi GKJTU”.