Rabu, 09 September 2015

Pendidikan Non-formal dalam Pembentukan Karakter





Krisis moral, budi pekerti, etika, karakter, atau istilah lain sejenisnya, di Indonesia sudah sejak lama dirasakan dan berdampak buruk bagi kehidupan bersama. Misalnya di Jawa, sejak tahun 1980-an berbagai kalangan merasa gelisah akibat merosotnya kemampuan anak-anak muda dalam hal berpekerti, berkarakter, bersopan-santun, dll. Ada istilah wong Jawa ilang Jawane (Orang Jawa hilang ciri Jawanya). Hal ini dirasakan semakin meningkat seiring bertambahnya tahun dan orang-orang Kristen juga terlibat di dalamnya. Tiap hari kita bisa baca dan saksikan berita-berita kriminal, tawuran, dan juga korupsi yang semakin menggila. Krisis karakter semakin menggurita.
Saling menyalahkan? Ya, itulah reaksi yang paling mudah dan tidak bijak dalam menyikapi persolaan tadi. Generasi tua menyalahkan generasi muda; orang tua menyalahkan guru; warga jemaat menyalahkan majelis/pendeta; lembaga-lembaga masyarakat menyalahkan pemerintah; dan sebaliknya. Saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan persoalan yang semakin kritis ini. Gereja perlu mengambil peran AKIK (Aktif, Kreatif, Inovatif, dan Kualitatif). Gereja tidak bisa berpangku tangan saja karena merupakan salah satu elemen masyarakat. Gereja perlu menyadari bahwa keterlibatan dalam pemulihan krisis karakter juga merupakan tugas panggilan dari Tuhan. Dalam mengembangkan karakter, Gereja perlu kreatif agar pembelajaran karakter tidak kaku, menjenuhkan, dan satu arah (top-down). Inovatif artinya gereja tidak terjebak pada pengakuan-pengakuan atau metode-metode usang masa lalu yang sudah tidak relevan. Proses pembentukan karakter perlu memahani dinamika perkembangan masyarakat dan mengemasnya menjadi hal yang menarik dan kontekstual. Dalam hal ini gereja juga tidak boleh bangga terhadap kuantitatif semata, namun memperhatikan aspek kualitatifnya. Target dari pembentukan karakter bukanlah jumlah yang sudah dijangkau, namun perubahan sikap (kualitas) hidup orang-orang di dalamnya.
Dengan didasari oleh filosofi dan panggilan Tuhan untuk terjun ke masyarakat GKJTU berupaya untuk ikut andil dalam mengembangkan karakter dengan membentuk Lembaga Pengembangan Pekerti Luhur (LPPL) sejak pertengahan April 2010. Apakah sudah berhasil? Jawabannya tidaklah semudah ya atau tidak. Bisa jadi ya karena orang-orang yang bersentuhan dengan LPPL disadarkan, dibangkitkan semangatnya kembali, dan memiliki perubahan sikap hidup untuk semakin mengembangkan karakter. Bisa jadi tidak karena masih banyak elemen masyarakat yang perlu dijangkau di negeri ini, bahkan internal GKJTU sendiri. Jadi, yang diperlukan dalam pengembangan karakter adalah semangat pantang menyerah dan kerjasama dengan berbagai pihak (baca: tidak hanya dengan internal gereja, namun juga dengan pihak-pihak lain di luar gereja termasuk penganut agama lain). Pergumulan tentang karakter adalah pergumulan bersama sepanjang jaman. Ketika jaman berakhir, pada saat itulah peran gereja dalam mengembangkan karakter bisa dikatakan berakhir pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar