Krisis moral, budi pekerti, etika,
karakter, atau istilah lain sejenisnya, di Indonesia sudah sejak lama dirasakan
dan berdampak buruk bagi kehidupan bersama. Misalnya di Jawa, sejak tahun 1980-an berbagai kalangan merasa gelisah
akibat merosotnya kemampuan anak-anak muda dalam hal berpekerti, berkarakter,
bersopan-santun, dll. Ada istilah wong Jawa ilang Jawane (Orang Jawa
hilang ciri Jawanya). Hal
ini dirasakan semakin meningkat seiring bertambahnya tahun dan orang-orang Kristen juga terlibat di dalamnya. Tiap hari kita
bisa baca dan saksikan berita-berita kriminal, tawuran, dan juga korupsi yang
semakin menggila. Krisis karakter semakin menggurita.
Saling menyalahkan? Ya, itulah reaksi yang
paling mudah dan tidak bijak dalam menyikapi
persolaan tadi. Generasi tua menyalahkan generasi muda; orang tua
menyalahkan guru; warga jemaat menyalahkan majelis/pendeta; lembaga-lembaga masyarakat
menyalahkan pemerintah; dan sebaliknya. Saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan
persoalan yang semakin kritis ini. Gereja perlu mengambil peran AKIK
(Aktif, Kreatif, Inovatif, dan Kualitatif). Gereja tidak bisa berpangku tangan
saja karena merupakan salah satu elemen
masyarakat. Gereja perlu menyadari bahwa keterlibatan dalam
pemulihan krisis karakter juga merupakan tugas panggilan dari Tuhan. Dalam
mengembangkan karakter, Gereja perlu kreatif agar pembelajaran karakter tidak
kaku, menjenuhkan, dan satu arah (top-down).
Inovatif artinya gereja tidak terjebak pada pengakuan-pengakuan atau
metode-metode usang masa lalu yang sudah tidak relevan. Proses pembentukan
karakter perlu memahani dinamika perkembangan masyarakat dan mengemasnya
menjadi hal yang menarik dan kontekstual. Dalam hal ini gereja juga tidak boleh
bangga terhadap kuantitatif semata, namun memperhatikan aspek kualitatifnya.
Target dari pembentukan karakter bukanlah jumlah yang sudah dijangkau, namun
perubahan sikap (kualitas) hidup orang-orang di dalamnya.
Dengan didasari oleh filosofi dan panggilan Tuhan untuk terjun ke masyarakat GKJTU berupaya
untuk ikut andil dalam mengembangkan karakter dengan membentuk Lembaga
Pengembangan Pekerti Luhur (LPPL) sejak pertengahan April 2010.
Apakah sudah berhasil? Jawabannya tidaklah
semudah ya
atau tidak. Bisa jadi ya karena orang-orang
yang bersentuhan dengan LPPL disadarkan, dibangkitkan
semangatnya kembali, dan memiliki perubahan
sikap hidup
untuk semakin mengembangkan karakter. Bisa jadi tidak karena masih banyak
elemen masyarakat yang perlu dijangkau di negeri ini, bahkan internal GKJTU
sendiri. Jadi, yang diperlukan dalam pengembangan karakter adalah
semangat pantang menyerah dan kerjasama
dengan berbagai pihak (baca: tidak
hanya dengan internal gereja, namun juga dengan pihak-pihak lain di luar gereja
termasuk penganut agama lain). Pergumulan tentang karakter adalah
pergumulan bersama sepanjang jaman. Ketika jaman berakhir, pada saat itulah peran gereja
dalam mengembangkan karakter bisa dikatakan berakhir pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar