Senin, 14 September 2015

KONSEP MISI INTEGRAL SINODE GKJTU



KONSEP DAN STRATEGI MISI GKJTU:
UPAYA MEMANTAPKAN DIRI
MENJALANI MISI INTEGRAL KONTEKSTUAL

A.    Pendahuluan
Allah mengutus Gereja ke dunia, seperti Allah Bapa mengutus Putra-Nya (Yoh 20:21) dan mengutus Roh Kudus-Nya (Yoh.14: 26). Dengan demikian, Gereja terlibat dalam misi Allah Tritunggal (bahasa Latin: missio Dei).
Gereja diutus menjadi saksi Kristus (KPR 1:8), menjadi „terang“ dan „garam“ (Mat 5:13-16) serta “penjala manusia“ (Mrk 1:17). Dalam rangka itu Gereja diutus pula untuk “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; ... untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang“ (Lukas 4: 18-19). Dengan demikian Gereja diutus untuk memuridkan segala bangsa dan mengajarkan mereka tentang kehidupan baru dalam Kristus (Mat 28: 19-20). Gereja bahkan diutus untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk (Mrk. 16:15). Misi itu dilakukan berdasarkan keyakinan bahwa keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus (KPR 4: 12; Yoh 3: 16).
Kesaksian Kristiani dinyatakan dalam rangka memberitakan Injil. Akan tetapi, tujuan kesaksian bukan sekadar agar orang lain berganti agama, namun mewujudkan kesaksian yang hidup, yaitu mengenai apa yang dikehendaki Allah melalui seluruh pola pikir, pola rasa, dan pola sikap orang Kristen. Selain itu, kesaksian Kristen juga bukan sekadar untuk menunjukkan kedermawanan orang Kristen, melainkan untuk menunjukkan contoh nyata mengenai pola hubungan antarmanusia yang seharusnya.
Misi GKJTU dimulai dengan penginjilan pribadi oleh Pieter Sadaya dan Nyonya Le Jolle pada pertengahan abad ke-19. Misi itu kemudian dikembangkan menjadi misi diakonia pertanian oleh Reijer de Boer, kemudian diperluas menjadi misi yang semakin menyeluruh, misalnya dalam wujud pendidikan dan kesehatan yang dilakukan oleh Salatiga Zending.[1] Sejak tahun 1937 misi tersebut dilanjutkan oleh GKJTU-PA, seperti yang dirumuskan di Pranatané Pasamoewan Kristen Salatiga Zending  Bab V, Pasal 31, “Pasamoewan koedoe mrelokaké ngabari wong kang doeroeng mratobat, martakaké pangandikané Goesti Sang Pamarta…” Kemudian sejak tahun 1963 hal itu ditegaskan kembali di Anggaran Dasar G.K.J.T.U…PA, Pasal 3, “Gereja tersebut mempunyai tujuan…memberitakan Injil kepada Masyarakat Indonesia.”
Dalam suasana pasca-G 30 S GKJTU dapat melaksanakan misi perintisan jemaat yang luar biasa. Hal itu ditegaskan pada tahun 1986 di TTD GKJTU, Bab IXV, Pasal 42, “GKJTU…membangun dan mendirikan jemaat-jemaat, pepanthan-pepanthan dan warga marenca buah kesaksian/ pekabaran Injil dan pelayanan.” Pada awal abad ke-21 GKJTU merumuskan dan melaksanakan misi yang mencakup seluruh aspek kehidupan, yang dinyatakan dengan misi penciptaan, misi pembebasan, dan misi rekonsiliasi (pendamaian), seperti yang dijabarkan di Rencana Induk Pengembangan GKJTU  2003-2028, Bab V.B.3. Selanjutnya, GKJTU semakin menyadari tentang konteks, yang meliputi kebudayaan, kemajemukan, politik, ekonomi, dan IPTEK. Hal itu dibahas dalam Pelengkap Katekismus Heidelberg (PKH), yang disahkan oleh Sidang Sinode GKJTU ke-27 tahun 2008.
Meskipun dalam sejarahnya, GKJTU telah merumuskan dan melakukan berbagai pekerjaan misi, GKJTU tetap mengakui bahwa misi penginjilan adalah “jantung misi GKJTU”, seperti ditegaskan di TTD GKJTU, Bab II, Pasal 4: “GKJTU terpanggil untuk menyaksikan atau memberitakan Injil yaitu kabar kesukaan yang menyelamatkan manusia; dan berdasarkan kasih melayani sesama di dalam segala bidang kehidupan manusia di dunia ini (Yoh, 13:1-20; 14; Mat.22:37-40; 28:19).”
Dalam melaksanakan semua misi itu, GKJTU bekerja sama dengan mitra-mitranya di dalam dan di luar negeri.
Tujuan akhir misi adalah pertobatan dalam Kristus. Akan tetapi, sebelum Gereja melakukan tugas itu, setiap warga gereja harus bertobat dan mengalami kelahiran baru. Hal itu telah ditunjukkan oleh pengalaman iman Ibu Le Jolle, sebagai perintis GKJTU.
GKJTU menyadari keberadaannya dalam konteks (lingkup) yang senantiasa berubah. Oleh karena itu, GKJTU terus berupaya memantapkan misinya di tengah-tengah perubahan itu, dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai konteks yang menyekitarinya. Semua itu dilakukan agar dalam mengemban misinya, pelayanan GKJTU tetap relevan (cocok) dengan situasi dan bermakna.
GKJTU dipanggil untuk melaksanakan misinya, yaitu mewujudkan karya penyelamatan Allah di dunia, baik secara individual maupun sosial, spiritual maupun material. Misi tersebut sesuai dengan hasil seminar dan lokakarya Misi Kontekstual GKJTU, yang diselenggarakan pada 18 s.d. 20 Juni 2009.[2]



B.     Gambaran Misi GKJTU
 





Diagram misi ini dapat dijelaskan demikian :
1.      GKJTU sebagai gereja memiliki misi atau tugas panggilan di dunia untuk dunia. Misi GKJTU secara utuh dan menyeluruh (komprehensif) adalah mewujudkan karya penyelamatan Allah di dunia ini baik secara individu maupun secara sosial, spiritual maupun material. Pelaksanaan misi tersebut dapat dijabarkan dalam tiga tugas panggilan utama yaitu persekutuan, penginjilan (atau kesaksian), dan kemanusiaan (atau pelayanan / diakonia).

2.      Tugas panggilan persekutuan itu dilakukan sebagai pewujudnyataan keselamatan dari Tuhan Yesus Kristus. Keselamatan dari Tuhan Yesus juga merupakan dasar dan titik berangkat persekutuan orang percaya.

3.      Tugas panggilan penginjilan dilakukan sebagai amanat utama dari Tuhan Yesus untuk mewartakan kabar baik. Karya penyelamatan Allah yang dikerjakan di dalam Tuhan Yesus bertujuan agar dunia selamat, yang merupakan tujuan kesaksian Gereja.

4.      Tugas panggilan kemanusiaan (atau pelayanan/ diakonia) dilakukan untuk mewujudkannyatakan kasih Allah kepada dunia dengan segala tindakan misi penciptaan, misi pembebasan, dan  misi rekonsiliasi.
a.       Misi penciptaan diwujudkan dalam keterlibatannya untuk memelihara dan melestarikan seluruh ciptaan bagi kepentingan semua ciptaan untuk “mengembalikan” ciptaan yang telah rusak karena ulah manusia, menjadi ciptaan yang baru.
b.       Misi pembebasan untuk membebaskan manusia dari segala belenggu penderitaan, ketidakadilan, penindasan, dan sebagainya.
c.        Misi rekonsiliasi atau misi pendamaian dilakukan berdasarkan pendamaian yang dilakukan Allah kepada manusia di dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Dalam dunia yang penuh konflik dengan segala kepentingannya, gereja dipanggil menjadi alat untuk mendamaikan pihak yang bertikai. Gereja menjadi juru damai.

5.      Semua misi yang harus dilakukan oleh gereja sebagaimana dipaparkan di depan, dilakukan dengan dasar pelayanan tanpa pamrih. Misi tersebut dilakukan dalam wujud ketaatan gereja dengan etos (sikap) “hamba” yang menjalankan tugas “tuan-Nya” yaitu Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan teladan-Nya.

Tiga tugas panggilan gereja, yaitu misi persekutuan, misi penginjilan, dan misi kemanusiaan, pada diagram di atas digambarkan dengan tanda panah yang serempak. Itu berarti, ketiga misi itu dijalankan secara serempak, seiring sejalan. Tidak mengutamakan misi tertentu dan mengabaikan yang lain. Ketiganya harus dilakukan secara serempak, utuh (holistik), menyeluruh (komprehensif), saling melengkapi dan saling mendukung.

C.   Misi GKJTU di dalam Konteksnya
GKJTU ikut terlibat dalam misi Allah di segala bidang kehidupan, terutama di bidang budaya, pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi, seperti diuraikan berikut ini.

1.           Misi GKJTU di Bidang Kebudayaan
GKJTU hidup di tengah-tengah budaya Jawa, yang senantiasa mengalami perubahan. Hal itu terjadi karena adanya interaksi antarbudaya. Budaya lokal bertemu dengan budaya nasional maupun internasional sehingga terjadi proses saling mempengaruhi.
Dilihat dari tempatnya, GKJTU hidup dalam lingkup budaya Jawa. Akan tetapi, ternyata tidak semua warga GKJTU beretnis Jawa. Sekitar 5% warga GKJTU berasal dari etnis lain. Dengan demikian, di dalam tubuh GKJTU sendiri, terjadi proses saling mempengaruhi. Hal itu menunjukkan bahwa GKJTU bukan gereja etnis Jawa, seperti yang ditegaskan di PKH, pertanyaan 16: “GKJTU bukan gereja etnis Jawa. Oleh karena itu, GKJTU menghargai keperbagaian bahasa dan budaya suku-suku bangsa sebagai pemberian Tuhan. Bahasa-bahasa dan seni budaya dihayati sebagai wahana untuk menyembah Tuhan.” (Mzm. 117:1; Wahyu 7:9-10).
Sejarah menunjukkan bahwa budaya Jawa mampu menyerap berbagai budaya asing, bahkan diterima menjadi bagian dari budaya Jawa. Misalnya, sendratari Ramayana yang berasal dari India, musik keroncong yang berasal dari Portugis, beskap yang berasal dari Belanda, dan sebagainya. Akan tetapi, dewasa ini banyak masyarakat Jawa dan juga warga GKJTU yang khawatir tentang keberadaan budaya Jawa yang tertindih budaya global dan sekuler (duniawi). Bagi sebagian besar generasi muda, hal itu dapat diterima dengan mudah, tetapi bagi sebagian besar generasi tua, sulit untuk menerima perubahan itu. Generasi tua cenderung untuk mempertahankan budaya tradisional.
Perbedaan sikap antara generasi muda dengan generasi tua menimbulkan pertentangan di masyarakat Jawa, juga di GKJTU. Generasi tua merasa perlu untuk mempertahankan budaya tradisional yang dianggap sebagai jatidiri orang Jawa. Atas dasar itulah, generasi tua cenderung menganggap anak muda yang menerima budaya Barat “kebarat-baratan”, bahkan “ilang Jawane”. Sedangkan generasi muda cenderung menganggap generasi tua bersikap kolot atau kuno.
Bagaimana pun kenyataan menunjukkan bahwa budaya Jawa mengalami perubahan dan pergeseran. Perubahan yang paling terasa terjadi di kota-kota besar, yang kemudian merembet sampai ke desa-desa, bahkan ke desa yang paling terpencil.
GKJTU dipanggil untuk melaksanakan misinya mewujudkan karya penyelamatan Allah di bidang budaya, baik secara individual maupun secara sosial baik secara spiritual maupun material. GKJTU memperbaharui budaya dan mengarahkan segala perubahan budaya ke arah yang menjadi berkat bagi masyarakat. Semua budaya yang sedang saling memengaruhi (interaksi) perlu diuji: “mana yang perlu disingkirkan, mana yang dipakai, dan mana yang perlu diperbarui” (PKH, pert. 2). Nilai baik dalam budaya tradisional perlu dipertahankan, tetapi ada juga unsur budaya yang perlu disingkirkan, seperti klenik, perdukunan, dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan PI senantiasa merupakan pertempuran dengan kuasa roh, yang membutuhkan perjuangan berdasarkan kuasa Roh Kudus, yaitu dengan doa dan puasa. Contoh budaya Jawa yang perlu diperbaharui adalah segi kesetaraan gender. Kesetaraan gender secara teoretis sudah diakui oleh GKJTU (dan bahkan oleh masyarakat di sekitarnya), namun belum sungguh dipahami oleh warga dan belum difungsikan secara maksimal. Umpamanya, warga jemaat yang hadir dalam kebaktian lebih banyak yang perempuan, tetapi anggota majelis kebanyakan / hampir semua laki-laki, terutama di daerah pedesaan. Di rumah tangga pun perempuan sering menjadi korban kekerasan.
Kesetaraan gender adalah nilai positif dari budaya luar. Akan tetapi, tidak semua budaya luar dapat diterima begitu saja. Setiap produk budaya harus dicermati, diseleksi, dan diarahkan. Setiap budaya harus diuji, mana yang dapat dipakai, mana yang dapat diperbarui, dan mana yang harus ditolak. Contoh sederhana, orang Indonesia khususnya Jawa tentu akan baik jika menggunakan sopan santun Indonesia, khususnya Jawa. Sebaliknya, kebebasan seks sebagai pengaruh budaya luar tidak sesuai dengan etika Kristen dan juga bertentangan dengan etika umum di masyarakat Indonesia. Dengan penyeleksian seperti itu, yang masuk, diterima, dan dikembangkan dari budaya luar adalah yang mengandung nilai-nilai positif.
Untuk terlibat dalam karya penyelamatan Allah di bidang budaya, GKJTU mengadakan lokakarya tentang budaya secara umum, tentang nilai etika Jawa serta budaya-budaya lainnya, tentang kesetaraan gender serta pelatihan seni budaya, baik untuk warga gereja maupun untuk masyarakat umum. Penyuluhan dan pemberitaan Injil tersebut juga memakai pelbagai media massa (sarana penyebaran), seperti media cetak, radio, rekaman audio, video dsb. Khususnya dalam penggunaan media radio dan rekaman audio GKJTU bekerja sama dengan LTWR sebagai mitranya dan mempromosikan pelayanan LTWR di jemaat-jemaat.
Kegiatan lokakarya tersebut juga menjadi kesempatan untuk bersaksi, dan akhirnya seni budaya bisa menjadi sarana pengabaran Injil. Maka untuk warga Gereja, GKJTU mengadakan pelatihan penginjilan kontekstual berangkat dari PKH, bagian budaya (pert. 1-17). GKJTU mengupayakan bentuk liturgi yang semakin memberi tempat (mengakomodasi) pada pelbagai budaya yang dijumpai di antara warga GKJTU. Demikian pula budaya masyarakat-masyarakat yang akan dijangkau dalam pekabaran Injil oleh GKJTU diwadahi dalam liturgi GKJTU (band. PKH, pertanyaan 16-17).

2.     Misi GKJTU di Bidang Pendidikan
Pada hakikatnya pendidikan adalah proses yang dijalani manusia untuk meningkatkan kualitas kehidupan.  Seiring dengan kesadaran itu, masyarakat semakin membutuhkan pendidikan. Berbagai lembaga pendidikan mengalami pertumbuhan yang pesat karena dipercaya sebagai lembaga yang mampu meningkatkan bahkan mencetak sumber daya manusia yang handal. Hal itu memunculkan anggapan bahwa pendidikan yang tertinggal akan menjadi ancaman serius bagi masa depan kehidupan manusia. Hanya SDM yang berkualitas yang akan mampu membebaskan diri dari kebodohan dan kemiskinan. SDM yang berkualitas akan lahir dalam proses pendidikan yang juga berkualitas.
Pendidikan dipercaya mampu mewujudkan SDM yang berkualitas. Atas dasar itu, lahirlah berbagai lembaga pendidikan yang menjanjikan hal itu. Akibatnya, terjadi persaingan dan kesenjangan penyelenggaraan pendidikan. Ada sekolah yang bermutu, tetapi mahal. Ada sekolah yang relatif murah, tetapi kurang bermutu. Masing-masing lembaga pendidikan berjuang untuk mendapatkan siswa yang memadai.
Sekolah Kristen juga dihadapkan pada persaingan itu. Ada sekolah Kristen yang sungguh bermutu, tetapi disebut sebagai “sekolah mahal”, sehingga hanya menjangkau kalangan tertentu. Sebaliknya ada juga sekolah Kristen yang setiap tahun bergumul dengan belum memadainya jumlah siswa yang diterima.
Sementara itu, di pedesaan masih banyak masyarakat yang kurang menyadari pentingnya pendidikan karena tidak terkait langsung dengan kehidupan di desa. Ada juga masyarakat yang bersikap apatis karena melihat kenyataan betapa sulitnya lulusan SLTA bahkan perguruan tinggi mendapatkan pekerjaan sesuai dengan tingkat pendidikannya. Pada sisi yang lain, ada juga sebagian masyarakat desa yang bersemangat menyekolahkan anaknya,  hingga harus meninggalkan desanya.
Dalam hal mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen di sekolah negeri, pemerintah belum menyediakan guru Pendidikan Agama Kristen PNS dalam jumlah yang memadai. Masih banyak sekolah yang mempunyai siswa beragama Kristen, namun tidak mendapatkan pelayanan Pendidikan Agama Kristen yang baik. Banyak guru mata pelajaran lain beragama Kristen disampiri tugas mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen. Bahkan ada juga sekolah yang mempunyai siswa beragama Kristen, namun tidak dapat memberikan pelajaran Pendidikan Agama Kristen dengan alasan tidak mempunyai guru atau tidak mampu menyediakan guru tidak tetap. Dari segi lain, di banyak tempat guru agama Kristen yang ada kurang dimanfaatkan. Selain itu, ada juga pihak lain yang berupaya untuk memaksakan sekolah Kristen agar menyelenggarakan pendidikan agama non-Kristen bagi peserta didik yang non-Kristen.
GKJTU dipanggil untuk melaksanakan misinya mewujudkan karya penyelamatan Allah di bidang pendidikan baik secara individual maupun secara sosial, baik secara spiritual maupun material. Pendidikan diarahkan menjadi pendidikan yang mencerdaskan berdasar nilai-nilai Kristiani. Maka GKJTU berjuang agar pendidikan yang bermutu terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat. Dalam rangka itu GKJTU berjuang pula supaya keseimbangan antara IQ (kecerdasan intelektual), EQ (kecerdasan emosional) dan SQ (kecerdasan spiritual) terjaga. Tujuan tersebut diperjuangkan baik di lembaga pendidikan milik GKJTU sendiri maupun di sekolah lain.
Untuk terlibat dalam karya penyelamatan Allah di bidang pendidikan, GKJTU mengadakan program pendidikan, baik formal dalam bentuk sekolah-sekolah maupun non-formal dalam bentuk kursus keterampilan, perpustakaan, lumbung informasi dsb. ataupun program beasiswa. Khususnya di bidang pendidikan formal, sekolah Kristen (termasuk sekolah-sekolah milik GKJTU) harus mempunyai nilai lebih dibandingkan sekolah-sekolah lain, apalagi kalau sekolah lain itu oleh masyarakat dianggap lebih murah. Kelebihan itu harus nampak baik dari segi SDM pengajar maupun dari segi sarana dan prasarana. Dengan demikian sekolah-sekolah Kristen mencerdaskan bangsa, tetapi pendidikan Kristen tersebut juga menjadi sarana pekabaran Injil sejak zaman zending sampai sekarang. Selain itu, GKJTU bersama dengan gereja-gereja lain juga melakukan mediasi (pendekatan) kepada pemerintah untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan agama Kristen di sekolah-sekolah negeri secara merata (baik guru maupun sarana untuk belajar mengajar), dan juga supaya pemerintah daerah mengalokasikan dana guna membantu sekolah swasta.

3.     Misi GKJTU di Bidang Sosial dan bagi seluruh Semesta
Dari dulu bangsa Indonesia menganut prinsip “Bhinneka Tunggal Ika”. Secara khusus orang Jawa menjunjung tinggi nilai kerukunan di tengah keberanekaan dan budaya saling menopang, seperti gotong royong, tepasalira, dsb. Namun, akhir-akhir ini masyarakat Indonesia menghadapi tantangan baru: dari satu segi masyarakat Indonesia menjadi semakin beraneka, di sisi lain muncul kelompok-kelompok yang semakin fanatik dan eksklusif. Sebagai salah satu akibat, ada hambatan dalam membangun gedung gereja, dan gereja yang sudah ada ditutup. Warga dan fungsionaris gereja pun kadang-kadang terjebak antara sikap fundamentalisme, sinkretisme tradisional (“agami-agami sami kemawon”) ataupun relativisme modern, yang mengganggap semua agama sama-sama sebagai jalan keselamatan. Namun, di banyak jemaat kerja sama dengan umat beragama lain masih kurang.
Karena pengaruh negatif budaya modern, ada kecenderungan hidup semakin mementingkan diri sendiri, semakin duniawi dan mengejar kenikmatan, semakin pragmatis, serba cepat dan instan. Sedangkan budaya gotong royong, tepasalira, dan sebagainya. semakin menghilang. Akhirnya kesenjangan sosial semakin terasa. Kerukunan dengan lingkungan hidup pun terganggu dengan limbah pabrik, pembuangan sampah, banjir sebagai akibat ulah manusia, penggundulan hutan dsb. Perubahan-perubahan sosial ini pun paling terasa di daerah perkotaan, tetapi mulai terasa di daerah pedesaan pula.
GKJTU dipanggil untuk melaksanakan misinya mewujudkan karya penyelamatan Allah di bidang sosial dan bagi seluruh semesta baik secara individual maupun secara sosial, baik secara spiritual maupun material. Kehidupan sosial diperbaharui dengan mewujudkan kehidupan gereja sebagai kehidupan komunitas untuk kasih. Komunitas kasih itu hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian pelbagai kelompok dapat hidup berdampingan dalam kemajemukan dengan saling menghormati dan saling menopang. Jadi GKJTU menjalankan misi rekonsiliasi agar hidup rukun dengan sesama manusia dan Misi Penciptaan agar hidup rukun dengan seluruh ciptaan Tuhan, seperti ditegaskan di Rencana Induk Pengembangan GKJTU 2003–2028.
Untuk turut serta dalam karya penyelamatan Allah di bidang sosial dan untuk seluruh semesta, GKJTU sejak zaman zending sampai sekarang sudah menjalankan banyak program diakonia yang membantu seluruh masyarakat; program seperti itu sekaligus mempererat kesatuan dan persatuan dalam masyarakat (mis. program “Tanggul Bencana”; band. TTL GKJTU, Bab XIV, ps. 56). Akhir-akhir ini program-program GKJTU bahkan menjadi berkat bagi seluruh ciptaan Tuhan (mis. program pertanian organik, biogas dsb.). Program seperti itu dilanjutkan dan dikembangkan. Selain itu, forum komunikasi umat beragama ditingkatkan, a.l. guna membangun komunikasi dalam rangka mengatasi sekat / hambatan dalam pembangunan gedung gereja. Supaya program-program seperti ini didukung aktif oleh seluruh warga GKJTU, pembinaan tentang kemajemukan dan pluralisme diselenggarakan, berangkat dari PKH bagian kemajemukan (pert. no.18-29); secara khusus definisi GKJTU tentang pluralisme di PKH, pert.18, disosialisasikan. Maka dapat diharapkan agar masyarakat semakin jenuh dengan fanatisme kelompok tertentu, seperti dulu terjadi dalam suasana pasca-G30S,[3] karena orang Jawa pada dasarnya membenci segala bentuk fanatisme.
Demikian pula bagian PKH tentang lingkungan hidup (pert.no. 62-69) menjadi dasar untuk pelbagai program pembinaan tentang lingkungan hidup. Agar upaya ini didukung oleh seluruh masyarakat, GKJTU mengadakan penyuluhan, lokakarya tentang nilai–nilai yang baik seperti gotong royong serta pendampingan hukum, bukan hanya untuk warga gereja, melainkan untuk seluruh masyarakat. Kerukunan seperti itu juga mendukung penginjilan, berdasarkan pemahaman: “Dikena iwake aja nganti butek banyune” (“Tangkap ikannya tanpa membuat keruh airnya”). Penginjilan dengan pola pendekatan hubungan persahabatan sangat relevan (cocok) untuk dikembangkan pada masa kini. Sebagai strategi (cara) khas Jawa, penginjilan di tanah Jawa sering mengikuti jalur dan hubungan kerabat keluarga, sesuai strategi yang dianjurkan di Pranatané pasamoewan Kristen Salatiga Zending,tilik sedoeloer ing omahé”. Dalam hal ini misi GKJTU dibantu oleh fakta bahwa ikatan kekeluargaan dan kolektifitas amat tinggi di konteks GKJTU. Sebagai strategi kedua, orang sengsara mendapat perhatian dalam penginjilan, a.l. dengan cara “niliki wong lara”. Hal yang sama disebutkan di TTL GKJTU, Bab XV, ps. 55, ayat 3: “Pemberitaan Injil (PI)/kesaksian dilakukan dengan percakapan-percakapan dari pribadi kepada pribadi ....” Maka seluruh warga jemaat perlu dilatih menjadi penginjil. Strategi khas Jawa ini amat berbeda dengan strategi penginjilan “dari rumah ke rumah” secara sembarangan.

4.     Misi GKJTU di bidang Politik
Untuk mengatur hidup sosial itu perlu politik. Sebagai akibat reformasi sejak tahun 1998, kekebasan demokrasi dan pengetahuan politik berkembang sehingga banyak warga jemaat yang terjun dalam politik praktis. Tetapi dalam kenyataan reformasi belum membuahkan hasil yang diharapkan dan seringkali malah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan golongannya sendiri. Maka baik di antara warga masyarakat maupun di antara warga gereja muncul pendapat atau kesan yang keliru tentang politik: Ada anggapan bahwa politik dapat menghalalkan segala cara, politik itu kotor, politik dapat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat. Oleh kelompok ini politik dipahami hanya untuk merebut kekuasaan dalam perspektif menang kalah, memperjuangkan golongan sendiri saja, bahkan terjadi politik uang, suap dan korupsi. Akhirnya malah sering timbul ketegangan hubungan antar warga oleh karena mendukung parpol atau calon yang berbeda-beda. Sehingga apatisme (sikap acuh tak acuh) masyarakat terhadap politik muncul kembali setelah reformasi berjalan lebih dari sepuluh tahun.
GKJTU dipanggil untuk melaksanakan misinya mewujudkan karya penyelamatan Allah di bidang politik, baik secara individual maupun secara sosial, baik secara spiritual maupun material. GKJTU berusaha mengarahkan politik menjadi sarana untuk mencapai tujuan bersama, terutama untuk kesejahteraan bersama. Maka GKJTU menjunjung tinggi nilai kejujuran, kebebasan, keterbukaan dan kesetaraan dalam bidang politik pula sebagai misi pembebasan, seperti ditegaskan di Rencana Induk Pengembangan GKJTU 2003–2028..
Untuk turut serta dalam karya penyelamatan Allah di bidang politik GKJTU mengadakan pembinaan dan pelatihan di bidang etika berpolitik dan kepemimpinan yang sesuai dengan nilai-nilai Kristiani, berangkat dari PKH bidang politik (pert. 30-47). Nilai Kristiani itu dapat dibahas secara terbuka dalam pembinaan warga gereja, tetapi akan terkandung secara implisit dalam penyuluhan yang diselenggarakan oleh GKJTU bagi masyarakat umum. GKJTU mendorong warganya untuk terlibat dalam kehidupan berpolitik, setelah dibekali dengan etika politik itu. Melalui warganya dan juga sebagai lembaga gereja, GKJTU mengangkat suara kenabian demi hak orang miskin dan orang tertindas, tetapi juga untuk kebebasan beragama dan kebebasan memberitakan Injil, bahkan untuk perlindungan seluruh ciptaan Tuhan.

5.     Misi GKJTU di Bidang Ekonomi
Salah satu bidang kehidupan masyarakat lainnya adalah bidang ekonomi. Secara umum ekonomi Indonesia masih sangat tergantung dari perusahaan asing dan semakin cenderung merusak semesta alam (band. PKH, pert. 64) Selain itu ekonomi Indonesia diwarnai oleh kenyataan bahwa perputaran keuangan di kota besar lebih cepat dan jauh lebih banyak dibandingkan daerah pedesaan dan kota kecil. Di kota juga peluang usaha lebih terbuka, tetapi persaingan dunia usaha lebih ketat pula, kesenjangan ekonomi lebih tajam dan kemiskinan lebih parah. Tetapi sayangnya peluang usaha itu masih kurang dimanfaatkan oleh warga GKJTU.
Terutama di daerah pinggir kota tanah pertanian mulai berkurang karena digunakan untuk pemukiman, pabrik, dsb. Warga yang masih memiliki tanah pun cenderung meninggalkan pekerjaan sebagai petani atau di sektor riil lainnya. Mereka lebih menyukai pekerjaan di sektor jasa, baik di pinggir kota maupun di desa, karena di mana-mana pekerjaan di sektor jasa dan perdagangan lebih menguntungkan ketimbang pekerjaan di sektor riil, apalagi di sektor pertanian. Maka terutama masyarakat pedesaan seringkali mengalami kesulitan menjawab tantangan pasar bebas.
Khususnya gereja menghadapi pandangan bahwa persoalan ekonomi dianggap tidak layak dipercakapkan di gereja sebagai lembaga rohani, yang a.l. menghambat kemandirian dana di gereja. Kemandirian dana gereja diperhambat juga oleh mentalitas manja dan lebih suka menerima ketimbang berbagi atau memberi. Dalam hal ini perlu disadari pula bahwa 70% jemaat GKJTU berada di daerah pedesaan, dan warga GKJTU berasal dari kelas menengah bawah dan bawah, dengan 70% warga jemaat yang bekerja di bidang agraris, 30% sebagai guru, PNS, buruh pabrik dll.
GKJTU dipanggil untuk melaksanakan misinya mewujudkan karya penyelamatan Allah di bidang ekonomi, baik secara individual maupun secara sosial, baik secara spiritual maupun material. Ekonomi diperbaharui dengan memperdayakan masyarakat dan memperjuangkan kemandirian ekonomi bagi setiap lapisan masyarakat yang juga ramah lingkungan. Sebagai gereja pedesaan, misi GKJTU sejak Reijer de Boer secara khusus terfokus pada bidang ekonomi pertanian.[4] Demi kemandirian gereja di bidang dana, GKJTU membangun ekonomi jemaat.
Untuk turut serta dalam karya penyelamatan Allah di bidang ekonomi GKJTU mengadakan pembinaan dan pelatihan ekonomi umum, pelatihan ekonomi koperasi, pelatihan pengelolaan tanah serta pelatihan pertanian ramah lingkungan baik bagi warga gereja maupun untuk masyarakat umum. Pelatihan tersebut diselenggarakan berdasarkan PKH bagian ekonomi (pert. 48-55). Dalam rangka mewujudkan kemandirian dana untuk jemaat, klasis dan sinode GKJTU, GKJTU mengadakan pelatihan ekonomi gereja bagi warganya.
Lebih lanjut, GKJTU berinisiatif untuk membentuk pelbagai macam koperasi serta jejaring produsen dan konsumen agar masyarakat pedesaan lebih diuntungkan dalam pemasaran produk pertaniannya dan masyarakat perkotaan bisa mendapat produk pertanian yang lebih bermutu dengan harga yang lebih ringan. Ekonomi jemaat dibangun dengan pelbagai proyek kemandirian gereja. Dengan demikian jemaat diberdayakan untuk membiayai usaha penginjilan dan program peningkatan ekonomi masyarakat menjadi kesaksian hidup dalam rangka penginjilan.

D.  Penutup
Dunia sebagai sasaran Misi Integral GKJTU terus berubah. Dalam dinamika perubahan yang demikian perlulah melakukan penilaian dan pemikiran ulang konsep misi dan penerapannya (implementasinya). GKJTU tidak sekedar menonton perubahan, melainkan secara aktif ikut memperbaharui bidang budaya, pendidikan, sosial, lingkungan hidup, politik dan ekonomi. Bidang-bidang tersebut diperbaharui melalui pelbagai kegiatan pembinaan dan penyuluhan, baik untuk warga gereja maupun untuk warga masyarakat. Akan tetapi, GKJTU juga menjalankan pelbagai program praktis, terutama di bidang ekonomi, pertanian ramah lingkungan dan sebagainya. Pelbagai kegiatan bagi dan bersama masyarakat menjadi kesempatan untuk bersaksi tentang keselamatan dengan perbuatan dan dengan perkataan.
Tugas utama Gereja bagi dunia sesuai dengan kehendak Allah adalah menciptakan tatanan dunia baru yang lebih baik, baik secara individual maupun secara sosial, baik secara spiritual maupun material “supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi” (Fil. 2:10). Gereja tetap perlu mereformasi dirinya untuk tetap bermakna dalam menjalani misinya yang menjadi hakikat keberadaannya.

Lampiran: Misi Dalam Sejarah GKJTU[5]

Pengantar

Tinjauan ini mulai dari zaman Ibu Le Jolle, lalu membagi sejarah GKJTU dalam enam masa. Pada setiap masa langsung ditinjau hikmah mana yang masih relevan untuk konteks sekarang. Sebagian bahan makalah ini memang diambil dari buku Pengantar Sejarah Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (Permulaan Misi GKJTU), tetapi makalah ini lebih terfokus pada konsep dan pelaksanaan misi. Karena misi tidak bisa dilepaskan dari penginjilan, maka makalah ini sebenarnya membahas “misi dan penginjilan dalam sejarah GKJTU”. Mengenai perbedaan dan kaitan antara misi dan penginjilan nanti akan diterangkan lebih mendalam dalam makalah tersendiri.

1      Perkembangan Misi GKJTU dalam sejarahnya

1.1    Misi dan penginjilan pada zaman Ibu Le Jolle (1850-1857)

Menariknya, sejarah penginjilan di wilayah Jawa Tengah Utara mulai dari penginjilan terhadap seorang Belanda bernama Ibu Elise Johanna Le Jolle. Bukan Ibu Le Jolle mulai menginjili, tetapi pertama-tama ia sendiri diinjili di perkebunannya dekat desa Simo. Biarpun keluarga Le Jolle sudah beragama Kristen, Ibu E.J. Le Jolle sekitar tahun 1850 mengalami pertobatan secara khusus, seperti yang ia tulis dalam catatan otobiografi. : “Di sana dalam kesunyian, suara kasih begitu mendesak, Tuhan sejak lama sudah berusaha untuk membangunkan iman di hati saya. Satu perasaan berdosa saya yang mendalam membuat saya jatuh terduduk. Ketika saya kemudian membuka Alkitab saya dan menemukan Joh.14, muncul ayat yang luar biasa: ‘Barangsiapa percaya kepada Allah, percaya juga kepadaKu.’ Menghibur dan memberanikan jiwa saya dan memenuhi saya dengan damai sejahtera, yang melampaui segala akal” (E.J. van Vollenhoven, “Einiges aus dem Leben”, M.u.H., Juni 1906, kolom 116-117). Melalui peristiwa itu menjadi jelas baginya, “bahwa orang-orang Jawa juga mempunyai jiwa, yang seharusnya diselamatkan oleh Yesus, kalau tidak mau sesat untuk selamanya.” (Ibid., kolom 117). Baru setelah Ibu Jolle mengalami pembaharuan iman tersebut, ia mendapat minat dan semangat penginjilan atau menjadi “mission minded”, menurut suatu istilah yang semakin dipopulerkan di GKJTU dewasa ini.
Sesudah itu Ibu Le Jolle ingin mulai mengabarkan Injil kepada buruh-buruh di perkebunannya. Tetapi ia mengalami rintangan karena para buruh itu amat takut terhadap orang Belanda dan sulit didekati. Selain dari itu, Ibu Le Jolle tidak bisa berbahasa Jawa, hanya Melayu (bahasa Indonesia) saja, sedangkan pekerja-perkerja di kebun hanya mengerti bahasa Jawa. Tetapi tidak lama kemudian Ibu Jolle dibantu oleh seorang penginjil Jawa bernama Petroes (atau Pieter) Sadaya dari Majawarno (Jatim). Kerja sama antara Ny. Le Jolle dan Petroes Sadaya adalah amat khas: Setiap minggu Ny. Le Jolle bersama Sadaya membicarakan dalam bahasa Melayu satu tema Alkitab, yang kemudian Sadaya khotbahkan di kebaktian pada hari Minggunya. Maka yang mempelopori, melayani dan memimpin jemaat awal itu adalah Petroes Sadaya. Sedangkan Ny. Le Jolle hanya mendukung dari belakang, membina dan menasehati. Sejauh mana pemberitaan Injil secara lisan juga disertai kesaksian melalui perbuatan sayangnya tidak tercatat dalam dokumen sejarah. Hanya dapat diduga saja bahwa Ibu Le Jolle juga memperlakukan buruhnya lebih baik dibandingkan tuan-tuan dan nyonya-nyonya pemilik perkebunan sebelumnya. Juga tidak tercatat apa yang menjadi pendorong utama bagi mereka yang memilih untuk memeluk iman Kristen. Yang pasti, pelayanan Petroes Sadaya dengan bantuan Ibu Le Jolle membuahkan sekitar 50 orang Kristen sampai tahun 1857.
Dalam catatan singkat ini terdapat beberapa prinsip yang pasti berlaku sampai sekarang:
1)      Warga GKJTU (atau orang Kristen siapapun) yang sekedar beragama Kristen, yang sekedar pernah dikristenkan dengan sakramen baptis, orang Kristen KTP, (seperti Ibu Le Jolle sebelum tahun 1850) tidak mungkin menjadi pelaksana misi kalau mereka tidak terlebih dahulu mengalami kelahiran baru dan menjadi sungguh-sungguh percaya seperti Ibu Le Jolle. Maka Depkes akhir-akhir ini semakin giat menyelenggarakan KKR di jemaat-jemaat GKJTU untuk terlebih dahulu membangkitkan iman dalam hati warga GKJTU.
2)      Ibu Jolle yakin bahwa setiap manusia harus “diselamatkan oleh Yesus, kalau tidak mau sesat untuk selamanya.” Soalnya, seandainya di luar Yesus juga ada keselamatan – buat apa mengajak orang percaya kepada Tuhan Yesus? Atau dengan kata-kata Pelengkap Katekismus Heidelberg, pert. 22: “Iman Kristen menegaskan, ke­selamatan hanya dapat diperoleh di dalam hidup dan mati Tuhan Yesus Kristus.” (dengan mengutip KPR 4:12; Yoh. 3:16).
3)      Untuk menyentuh hati manusia seorang penginjil harus mengakrabkan diri dengan orang yang mau diinjili dan juga harus memahami serta bisa menggunakan bahasa mereka – entah itu bahasa Jawa Krama halus, entah itu bahasa Indonesia brokem. Kadang-kadang perlu juga pembagian tugas dan kerja sama antara pelayan Tuhan dengan pelbagai karunia, seperti antara Ibu Le Jolle dan Petroes Sadaya.

1.2    Misi pada zaman Reijer de Boer (1869-1891)

Sayangnya, setelah Ibu Le Jolle pulang ke Belanda tahun 1857 terjadi konflik antara Petroes Sadaya dan misionaris Hoezoo yang mengakibatkan Petroes Sadaya dipecat oleh Hoezoo dan misi yang dimulai bersama Ibu Le Jolle tersendat sampai tahun 1869. Kemudian jemaat Ermelo mengutus misionaris Reijer de Boer, seorang petani yang merasa terpanggil untuk melayani jemaat Njemoh Salatiga dan tiba di Njemoh Salatiga tanggal 4 Juni 1869.
Pendekatan penginjilan yang dipakai oleh de Boer amat lazim pada akhir abad ke-19: De Boer membeli tanah dari pemerintah Belanda. Keluarga-keluarga yang ingin menempati tanah baru itu diperlengkapi oleh de Boer dengan kerbau dan alat-alat pertanian. Pinjaman itu seharusnya mereka kembalikan nanti, kalau mereka mampu. Sebagai balas budi orang-orang Jawa itu berjanji untuk datang ke gereja dan menyekolahkan anak-anaknya. Maka de Boer mengembangkan sekolah juga. Tetapi yang paling khas dalam pendekatan ini adalah bahwa orang dibantu bertani jika mereka berjanji untuk datang ke gereja. De Boer dengan latar belakang sebagai petani merasa sangat cocok dengan methode (pendekatan) ini. Demikianlah di bidang-bidang tanah yang dibeli dan dibuka itu muncul desa-desa Kristen. Selain dari Njemoh-Wonorejo, de Boer mendirikan desa Kristen di Kaliceret, Tjemee, Tugu dan beberapa tempat lain. Dalam segala upaya perintisan itu Tn. de Boer dibantu oleh Guru Injil Jawa yang bernama Elias, Yosef dan Lewi yang sudah disebutkan tadi. Menariknya, pendekatan ini ada juga unsur spiritual: Untuk mendirikan desa tersebut de Boer harus membuka hutan di tanah yang dibeli dari pemerintah Hindia Belanda. Menurut kepercayaan orang Jawa waktu itu hutan dikuasai oleh danyang penunggu hutan itu. Siapapun yang berani membuka hutan harus terlebih dulu mengalahkan danyang itu dan sangat disegani oleh masyarakat sebagai penguasa baru di desa tersebut, termasuk de Boer di Jateng serta J. Emde dan C.L. Coolen di Jatim.
Dari periode ini pun beberapa hikmah lagi bisa diambil:
4)      Sejak awal misi di wilayah GKJTU bersifat holistik dan membantu a.l. untuk mengembangkan pertanian. Namun, misi diakonia seperti itu selalu ada risiko untuk memanjakan orang dan menciptakan ”Kristen nasi”, orang Kristen yang ingin diberi dan dilayani, bukan memberi dan melayani. Para pendeta GKJTU kemudian harus berjuang bertahun-tahun untuk menghilangkan sikap manja itu dari jemaat-jemaat yang dirintis oleh Rijer de Boer.
5)      Misi sering ada unsur peperangan rohani. Dengan membuka hutan para perintis misi pada abad ke-19 tidak hanya membawa ajaran Kristen dan kemajuan lahiriah, melainkan juga terbukti mengalahkan kuasa spiritual. Pekabaran Injil senantiasa merupakan pertempuran dengan kuasa spiritual.

1.3    Misi pada zaman Salatiga Zending (1888-1942)

Karena pelayanan di Jawa Tengah semakin berkembang, Tn. de Boer serta penginjil-penginjil pribumi tidak bisa melayani jemaat-jemaat yang semakin luas itu. Ny. Van Vollenhoven alias Le Jolle menghubungi ‘Lembaga Pelayanan Yatim Piatu dan Misi’ (bhs. Jerman: ‘Waisen- und Missionsanstalt’) di kota Neukirchen, Jerman (yang kemudian menjadi Neukirchener Mission), dan pada 6 Agustus 1884 misionaris NM pertama tiba di Jawa, yaitu pasangan suami-isteri Tn. Reginus Johannes Horstmann dan Ny. Elisa Horstmann, dan pada tahun-tahun berikutnya beberapa misionaris lagi diutus oleh Neukirchener Mission. Utusan-utusan Neukirchener Mission ini pada bulan Juni tahun 1888 men­dirikan ‘De Bond van Zendelingen van de Salatiga Zending op Java’ (bhs. Belanda: ‘Perserikatan Para Misionaris Salatiga Zending Di Jawa’ – biasanya disebut ‘Salatiga Zending’).
Namun, para misionaris Eropa itu sulit menginjili orang Jawa secara langsung. Seperti yang sudah disebutkan di atas, orang Jawa entah lari dari orang Eropa atau menjawab “inggih, inggih” saja. Hanya Guru Injil Jawa yang dapat sungguh memahami dan mencapai hati orang Jawa. Sehingga para misionaris amat tergantung pada Guru Injil Jawa. Awalnya masing-masing misionaris membina guru Injilnya sendiri, tetapi untuk membina para guru Injil itu dengan lebih baik, para misionaris membuka pusat pembinaan Guru Injil bernama “Sabda Moelya” di Ungaran pada tahun 1912.
Sesuai dengan “politik etis” yang digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1901, para misionaris Salatiga Zending / Neukirchener Mission membuka rumah sakit di Purwodadi (1903), Blora (1912) dan Bojonegoro (1919), empat rumah sakit pembantu (yang tidak memiliki dokter tetap melainkan dipimpin oleh suster-suster dan hanya secara rutin dikunjungi oleh dokter dari ketiga rumah sakit tersebut) serta beberapa poliklinik. Namun, para dokter dan suster sering merasa merawat simptom-simptom saja: Kebanyakan penyakit disebabkan oleh cara hidup yang kurang sehat, terutama di desa-desa, tetapi mereka tidak bisa menyentuh akar rumput untuk memperbaiki cara hidup yang kurang sehat itu. Atau dengan kata-kata Dr.med. Alexander Fritz, seorang ahli misi medis: “Pada tahun 1933 misalnya 10.788 injeksi salavarsan diberikan .... untuk mengobati penyakit frambosi .... Tetapi semua injeksi salavarsan itu tidak dapat merubah situasi kurang higienis di mana-mana di desa-desa: tidak ada air minum bersih apalagi saluran air minum, tidak ada WC, kolam desa berfungsi sekaligus sebagai timbunan air minum, tempat mandi, tempat cuci dan WC.”[6] Selain itu Salatiga Zending juga mendirikan beberapa sekolah-sekolah zending. Sedangkan pendekatan mendirikan desa Kristen (yang dulu dipakai oleh de Boer) sama sekali tidak digunakan lagi.
Pelayanan sekolah zending tersebut sangat diminati oleh masyarakat Tionghoa, karena mereka kurang puas dengan sekolah pemerintah Hindia Belanda ataupun sekolah yang didirikan oleh pelbagai organisasi masyarakat Tionghoa sendiri. Khususnya di kota Salatiga, Blora, Purwodadi, Pemalang, Bojonegoro dan kota-kota lainnya pelayanan Salatiga Zending tidak lagi terbatas kepada orang Jawa saja, melainkan mereka melayani orang Tionghoa juga, sehingga timbullah jemaat campuran dengan warga Jawa, warga Tionghoa dan warga dari etnis lainnya. Jemaat di Semarang malah terdiri dari orang Ambon, orang Menado, orang Tionghoa, orang Jawa, orang Eropa dan orang Indo. Biarpun para misionaris berusaha keras untuk mempersatukan semua etnis itu dalam satu jemaat, tetapi pada tahun 30an, orang Tionghoa dan orang Jawa membentuk jemaat sendiri-sendiri, yang kemudian juga membentuk sinode-sinode yang berbeda-beda: Sebagian jemaat Tionghoa bergabung dengan Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (sekarang GKI) dan sebagian lainnya bergabung dengan sinode yang sekarang dikenal sebagai Gereja Kristus Tuhan, GKT. Sedangkan jemaat-jemaat Jawa sebagian membentuk GKJTU, sebagian bergabung dengan GKJ. Pada masa itu sepertinya justru orang Tionghoa lebih bersemangat mendirikan gereja bagi etnis mereka sendiri saja (monoethnis) dibandingkan orang Jawa. Sedangkan dewasa ini GKI dan GKT sudah terdiri dari pelbagai suku (multietnis), tetapi GKJTU dan GKJ masih amat didominasi oleh orang Jawa.
Pelajaran yang bisa diambil dari periode ini adalah:
6)      Paling tidak sejak awal abad ke-20 unsur diakonia semakin jelas menjadi salah satu dimensi misi Salatiga Zending selaku cikal bakal GKJTU. Dalam melaksanakan diakonia itu, para misionaris sudah menyadari bahwa terutama pelayanan medis masih bersifat karitatif (membantu para korban tanpa mencabut akar permasalahan), dan sebenarnya perlu dikembangkan menjadi diakonia reformatif (membimbing para korban agar tidak bermasalah lagi) atau bahkan transformatif (merubah struktur yang bermasalah). Sekolah-sekolah zending sudah mengarah ke diakonia reformatif itu. Tetapi diakonia yang lebih reformatif dan transformatif baru bisa dimulai pada akhir abad ke-20 / awal abad ke-21.
7)      Sejak zaman Ibu Le Jolle dan lebih nampak lagi pada zaman Salatiga Zending, kerja sama antara penginjil lapangan dengan para pembina. Orang Jerman dan orang Belanda yang disebut “misionaris” sebenarnya tidak melaksanakan misi dan penginjilan secara langsung, melainkan mereka lebih berfungsi sebagai konseptor (perancang) dan pembina untuk para guru Injil Jawa sebagai ujung tombak misi. Dewasa ini tenaga asing di GKJTU tinggal 1-2 orang saja. Tetapi kerja sama antara konseptor misi, pembina misi dan pelaksana misi tetap penting, biarpun semuanya orang Indonesia.
8)      Setelah “ditinggal” oleh orang Tionghoa, GKJTU secara de fakto menjadi gereja monoetnis, biarpun keadaan itu bukan sesuatu yang diinginkan apalagi direncanakan sebelumnya. Sekarang pun GKJTU menegaskan di Pelengkap Katekismus Heidelberg, jawaban untuk pertanyaan no. 16: “Meskipun Gereja Kristen Jawa Tengah Utara lahir di tanah Jawa dan mayoritas anggotanya adalah orang Jawa, namun GKJTU dari dulu sampai sekarang mencakup juga etnis Tionghoa, Batak, Ambon, Sangir, Toraja, Bali dan pel­bagai etnis lainnya. Gereja Kristen Jawa Tengah Utara memang berpusat di Jawa Tengah bagian Utara, tetapi GKJTU bukan gereja etnis Jawa. … Bahasa-bahasa dan seni budaya dihayati sebagai wahana untuk menyembah Tuhan.” Namun, pernyataan teoretis itu masih perlu semakin dihayati dan diimplimentasikan di jemaat-jemaat GKJTU.

1.4    Misi Parepatan Agung / GKDTU yang mandiri (1937-1965)

Jemaat-jemaat yang dirintis bersama oleh para misionaris dan guru Injil Salatiga Zending kemudian satu demi satu menjadi jemaat mandiri di bawah pimpinan pendeta dan majelis pribumi. Pada bulan Maret 1937 wakil jemaat-jemaat mandiri itu dan para misionaris berkumpul untuk mendirikan ‘Raad Agoeng’ (bhs. Jawa: ‘Parepatan Agoeng’) di jemaat Purwodadi. Sinode yang didirikan itu pada tanggal 20 April 1949 secara resmi diberi nama “Geredja Kristen Djawa Tengah Utara (GKDTU), tetapi dalam bahasa sehari-hari masih lama disebut “Parepatan Agoeng” (PA).
Sayangnya tidak banyak diketahui tentang pelaksanaan misi GKDTU-PA itu, dokumen-dokumen sejarah lebih banyak membahas pertikaian antara GKDTU/GKJTU dan GKD/GKJ. Tetapi para saksi sejarah masih ingat bahwa Pdt. Kartosugondo misalnya mengabarkan Injil di daerah Kendal bersama dengan “kelompok Kyai Sadrakh”, jemaat yang dulu dirintis oleh seorang penginjil Jawa bernama Kyai Sadrakh, kemudian dikucilkan oleh zending gereformeerd dan akhirnya bergabung dengan Gereja Rasuli. Juga di banyak tempat lain penginjilan sering dilakukan dalam semangat oikumene dan kerja sama. GKDTU sebenarnya sudah ingin bergabung dengan DGI yang didirikan pada 25 Mai 1950, namun upaya itu digagalkan oleh GKD/GKJ.
Sejak awal pemahaman misi dan penginjilan GKDTU/GKJTU dirumuskan di tata gerejanya, seperti misalnya dalam Pranatané pasamoewan Kristen Salatiga Zending dari tahun 30an, bab V, pasal 31-32: 

V. Bab goemelaring Indjil
31.   Pasamoewan koedoe mrelokaké ngabari wong kang doeroeng mratobat, martakaké pangandikané Goesti Sang Pamarta; soepaja bisaa kelakon mangkono, saben liding pasamoewan perloe dadi seksiné Sang Kristoes, ija ikoe Sang Djoeroe Slamet srana pitemboengan lan kalakoeané, sabab pada éling ing pangandikane Goesti: “Nanging samasa woes pada katedakan ing Roh Soetji, kowé bakal pada kaparingan kasektèn; temahan pada dadi seksikoe ana ing Jeroesalèm lan ing sawratané tanah Joedéja toewin ing Samarija, sarta toemeka ing poengkasane Boemi.” Lelam. 1:8
32.   Soepaja prakara maoe bisaa kelakon, prajoga warganing pasamoewan nindakaké prakara roepa2, kajata: tilik sedoeloer ing omahé, niliki wong lara, gawé koempoelan (kedjiba kang loemrah kelakon). Apa manèh koedoe seneng amratakaké sakèhing wewantjané wong Kristen. Kabèh maoe koedoe dilakoni mitoeroet pranataning pasamoewané, mawa2 kabisané, panggonané lan kaanané warga déwé2.

Dalam Anggaran Dasar G.K.J.T.U ... PA dari tahun 1963, ps. 2-4 (yang hanya sedikit direvisi pada tahun 1978), misi dan pemberitaan Injil dari awal disebutkan sebagai dasar, tujuan dan usaha GKJTU:

Pasal 2
Dasarnya (Grondslag)
Dasarnya Gereja Kristen Jawa Tengah Utara ini ialah:
Melaksanakan dan mentaati Firman Tuhan yang termaktub dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru berdasarkan atas:
a.      .... (Matius 22:37-39)
b.      Kesaksian bahwa Tuhan Yesus Kristus ialah Anak Allah dan Juruselamat dunia (Yahya 1:34 dan I Yahya 4:14)
c.       Doa Tuhan Yesus menurut Yahya 17:21: “supaya semuanya jadi satu juga sama seperti Engkau di dalam Aku, ya Bapa, dan Aku pun di dalam Engkau, supaya mereka itu pun jadi satu di dalam Kita, sehingga isi dunia ini percaya bahwa Engkaulah yang menyuruh Aku”.
d.     Pengakuan Iman Rasuli ...

Pasal 3
Tujuan (doel)
Gereja tersebut mempunyai tujuan:
a.      Melanjutkan usaha-usaha Salatiga Zending
b.      ....
c.       Memberitakan Injil kepada Masyarakat Indonesia
d.     Membentuk Jemaat-jemaat Kristen yang Esa dimana-mana ... (di wilayah Negara Republik Indonesia)

Pasal 4
Usaha-usahanya
Untuk mencapai tujuan itu, GKJTU berusaha dengan jalan:
....
c.       Memperluas dan memperdalam Pekabaran Injil diseluruh tempat, ...
d.     ...
e.      ...
f.        ...
g.      Menyelengarakan Yayasan untuk sosial dan ekonomi, ialah Sekolah-sekolah Dana Pitulungan, memelihara orang-orang miskin, orang ropoh (tua), cacad, anak-anak piatu (yatim), Kesehatan (Poliklinik), Rumah Sakit dan lain-lainnya ...

Oleh sebab itu, juga setiap warga GKJTU menurut Anggaran Rumah Tangga G.K.J.T.U tahun 1963 mempunyai kewajiban:
Nandukake katresnan lan merlokake becike Pasamuwan tuwin becike brayate dhewe-dhewe, apa maneh ngudi bab gumelaring Kratone Gusti Allah (Pr.Rasul 2:42-47; I Petrus 3:8-12; Galati 5:13-26).

Jadi, pada masa ini ciri-ciri misi khas GKJTU sudah mulai semakin kelihatan:
9)      Misi dan penginjilan sejak awal dipahami sebagai pelayanan menyeluruh (holistik), bukan hanya sebagai pemberitaan lisan saja bukan juga sebagai kesaksian melalui perbuatan melulu, melainkan sebagai kesaksian “srana pitemboengan lan kalakoeané” (Pranatané pasamoewan Kristen Salatiga Zending). Dan kesaksian itu jelas bertujuan untuk membuat orang bertobat pada Kristus dan merintis jemaat baru, tetapi juga demi “gumelaring Kratone Gusti Allah” (Anggaran Rumah Tangga G.K.J.T.U tahun 1963). Biarpun GKJTU pada masa itu sebenarnya tidak sanggup membuka rumah sakit, panti jompo dsb., GKJTU tetap menyebutkannya sebagai sarana misi di Anggaran Dasar GKJTU tahun 1963. 
10)  Sebagai strategi khas Jawa, penginjilan di tanah Jawa sering mengikuti jalur dan hubungan kerabat keluarga, apalagi karena orang Jawa merasa berhubungan keluarga semua (kalau ditelusuri cukup jauh). Maka salah satu strategi yang diusulkan di Pranatané pasamoewan Kristen Salatiga Zending adalah “tilik sedoeloer ing omahé”. Sebagai strategi kedua, orang sengsara menjadi sasaran penginjilan, a.l. dengan cara “niliki wong lara”, lalu yang tertarik pada kabar Injil dikumpulkan dalam persekutuan atau “koempoelan ... kedjiba kang loemrah kelakon”. Strategi khas Jawa ini amat berbeda dengan strategi penginjilan “dari rumah ke rumah” secara sembarangan (“door-to-door-ministry”).
11)  Paling tidak sejak Anggaran Dasar G.K.J.T.U ... PA dari tahun 1963, misi GKJTU tidak dibatasi pada wilayah Jawa Tengah Utara, biarpun jemaat yang dirintis di luar wilayah Jawa Tengah Utara sengaja disebut “Jemaat-jemaat Kristen yang Esa” bukan “jemaat GKJTU” atau jemaat PA”. Maka dari awal misi dan penginjilan GKJTU dilaksanakan dalam semangat oikumene, biarpun semangat oikumene itu sering terhambat oleh pertikaian antara GKJTU dan GKJ.

1.5    Misi pasca peristiwa G30S

Setelah peristiwa G30S pemerintah Indonesia mewajibkan setiap warga negara untuk memeluk salah satu dari agama Islam, agama Budha, agama Hindu, agama Kristiani-Katolik ataupun agama Kristiani-Protestan (“agama Kristen”). Sedangkan kepercayaan kejawen / aliran kebatinan tidak diakui sebagai agama. Tetapi bahkan sebelum peraturan tersebut dimaklumkan banyak orang Jawa sudah memilih mengikuti Kristus karena mereka muak dengan fanatisme kelompok agama lain yang membasmi orang Komunis dan agak memaksa orang abangan menjadi pemeluk agama yang taat. Maka di tengah kekacauan sesudah peristiwa G30S hampir dua juta orang Jawa abangan menjadi pengikut Kristus.
Faktor-faktor yang mendukung penginjilan pada waktu itu adalah antara lain:
a.      Pemerintah Republik Indonesia tidak membatasi pekabaran Injil Kristus melainkan malah mendukungnya. Para penginjil (seperti penyebar agama lain) sering diiringi ABRI.
b.      Di tengah ketidakpastian sesudah peristiwa G30S orang mencari pegangan dan damai sejahtera dalam berita Injil
c.       Melihat kekecaman pihak tertentu terhadap orang Komunis, banyak orang justru terkesan dengan kasih orang Kristen
d.     Ketika orang abangan mau dipaksakan untuk mengikuti agamanya lebih sirius, mereka justru meninggalkan agama itu dan mengikuti Kristus
e.      Orang menganggap agama Kristen sebagai agama yang paling “ringan” dan gampang. Maka waktu pemerintah Indonesia menyuruh mereka untuk memilih salah satu agama, mereka memilih agama Kristen.
Pada waktu itu, strategi penginjilan bisa dilakukan amat sederhana: Tim peninjilan GKJTU dengan bebas bisa masuk ke desa-desa dan memberitakan Injil di tempat umum. Seringkali masyarakat desa mengambil keputusan kolektif memilih beragama Kristen, lalu mereka dibaptis secara massal. Tetapi dalam situasi inipun kesaksian hidup orang Kristen berperan juga. Penginjilan GKJTU di lereng Merbabu begitu berhasil oleh karena kesaksian hidup seorang mantri kesehatan bernama Pak Isai yang sangat mengesankan masyarakat di lereng Merbabu.
Pada saat itu GKJTU menerima banyak warga baru, misalnya di wilayah lereng Merbabu (Salatiga dan sekitarnya) berdiri 25 Jemaat dan 11 pepantan baru, di mana sebelumnya (jemaat zending) baru 5 jemaat, sehingga klasis Kopeng dan klasis Getasan semata-matanya terdiri dari jemaat baru tersebut. Secara keseluruhan GKJTU bertumbuh dari sekitar 2.400 warga (tahun 1965) menjadi 16.846 jiwa (tahun 1971).
Perlu dicatat pula bahwa pada tahun 1963/64 hubungan dengan Neukirchener Mission dibuka kembali dan dua tenaga misionaris NM ikut memetik buah penginjilan pasca-G30S, yaitu Pdt. Ingo Garthe serta kel. (1966-1974) dan Pdt. Klaus Seidlitz serta keluarga (1968-1973). Pada masa-masa ini GKJTU membuka diri dan ikut terjun ke "dunia oikumenis" dan sampai pula puncaknya pada tanggal 22 April tahun 1972 diterima sebagai anggota Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (sekarang Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia – PGI) menjadi anggota DGI No. 42.
Biarpun situasi pasca-G30S adalah masa yang sangat istimewa dalam sejarah misi Kristiani, namun tetap ada bebera prinsip yang tetap relevan sampai sekarang:
12)  Seolah-olah kebebasan ber-PI pada masa pasca-G30S tidak mungkin terulang lagi di masyarakat Indonesia. Tetapi perlu dicatat bahwa pada masa itu banyak orang Jawa menjadi Kristen karena mereka muak dengan fanatisme kelompok lain, karena orang Jawa pada dasarnya membenci segala bentuk fanatisme. Biarpun dewasa ini kelompok fanatik semakin giat dan seolah-olah semakin menguasai kehidupan politik dan masyarakat, tidak mustahil bahwa fanatisme mereka pada akhirnya justru akan “menguntungkan” pekabaran Injil sekali lagi.
13)  Biarpun situasi pasca-G30S sangat mendukung pekabaran Injil, keberhasilan penginjilan tetap tergantung juga kesiapan gereja untuk menanggapi situasi itu. Maka setiap jemaat GKJTU perlu senantiasa siap untuk menangkap bola ketika situasi luar biasa seperti itu akan terjadi lagi.

1.6    Misi GKJTU yang direformasi (1984-2009)

Pada Sidang Sinode ke XXII (Istimewa) GKJTU tahun 1984, GKJTU seia sekata untuk sungguh-sungguh mengadakan pembaharuan- pembaharuan yang berarti, dan pembaharuan itu lebih dimantapkan lagi melalui Sidang Sinode XXIII Juli 1988 di Kopeng. Sidang Sinode XXIII itu a.l. menerima Tata Dasar – Tata Laksana yang baru, yang juga lebih menjelaskan pemahaman penginjilan. Biarpun TTD-TTL direvisi lagi pada Sidang Sinode XXV tahun 1998 dan pada Sidang Sinode XXVII tahun 2008, bagian tentang misi dan penginjilan tidak mengalami perubahan yang signifikan.

1.6.1       Misi menurut Tata Dasar GKJTU yang baru

Dari awal TTD GKJTU Bab II, ps. 4, sudah menjelaskan tentang panggilan GKJTU: “GKJTU terpanggil untuk menyaksikan atau memberitakan Injil yaitu kabar kesukaan yang menyelamatkan manusia; dan berdasarkan kasih melayani sesama didalam segala bidang kehidupan manusia di dunia ini (Yoh. 13:1-20;14; Mat. 22:37-40; 28:19).”
Misi pemberitaan Injil dan pelayanan kasih (diakonia) serta misi pendirian jemaat diterangkan lebih lanjut sebagai “usaha-usaha” GKJTU di TTD GKJTU, bab XIV, ps. 42-44:

Pasal 42
Pelayanan dan Pendirian Jemaat
GKJTU memimpin, melayani dan membangun jemaat-jemaat bekas Salatiga Zending, yang menjadi wilayah pelayanannya; dan memimpin, melayani, membangun dan mendirikan jemaat-jemaat, pepanthan-pepanthan dan warga marenca buah kesaksian/pekabaran Injil dan pelayanan.

Pasal 43
Pemberitaan Injil
Sesuai dengan Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus Juru Selamat dan Kepala Gereja, GKJTU memberitakan Injil bagi semua orang.

Pasal 44
Pelayanan Diakonia
GKJTU melaksanakan pelayanan diakonia dengan cara:
n  Melakukan usaha-usaha sosial,
n  Melakukan usaha-usaha ekonomi,
n  Melakukan usaha-usaha kesehatan,
n  Melakukan usaha-usaha pendidikan,
n  Melakukan usaha-usaha pelayanan bagi: kaum janda/duda, yatim-piatu dan orang-orang menderita serta usaha-usaha lainnya yang bersifat diakonal.

Usaha-usaha tersebut lebih dioperasionalkan lagi di TTL GKJTU, bab XIV, ps. 56-57:

Pasal 56
Pemberitaan Injil

Ayat 1:Pemberitaan Injil (PI)/kesaksian adalah pemberitaan tentang Tuhan Yesus Kristus dan pekerjaanNya seperti yang tersebut dalam Alkitab.
Ayat 2:Pemberitaan Injil (PI) /kesaksian itu adalah panggilan bagi semua orang percaya baik sendiri maupun bersama dan ditujukan kepada semua orang di dunia ini.
Ayat 3:Pemberitaan Injil (PI)/kesaksian dilakukan dengan percakapan-percakapan dari pribadi kepada pribadi dan dengan berbagai usaha lainnya dengan berbagai cara yang bersifat PI /kesaksian.
Ayat 4:Orang yang mendengar Injil dan yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus Kristus dibimbing untuk memasuki jemaat Kristen untuk menjadi 1(satu) dalam persekutuan tubuh Kristus.
Ayat 5:PI/Kesaksian dilakukan oleh:
            1. Semua warga jemaat/gereja.
            2. Majelis Jemaat dan badan-badan majelis jemaat.
            3. Klasis dan badan-badan pembantuk klasis.
            4. Sinode dan badan-badan pembantu sinode.

Pasal 57
Pelayanan Diakonia

Ayat 1:Pelayanan Diakonia adalah segala usaha dan pekerjaan yang dilakukan dalam menyatakan kasih kepada sesama manusia.
Ayat 2:GKJTU melakukan pelayanan Diakonia seperti yang tercantum dalam TATA DASAR GKJTU BAB XIV Pasal 44.
Ayat 3:Untuk memujudkan pelayanan Diakonia dengan baik, jemaat, klasis dan sinode dapat membentuk badan-badan Diakonia, yayasan-yayasan dan lain-lain.

1.6.2       Misi menurut Rencana Induk Pengembangan GKJTU

Rencana Induk Pengembangan GKJTU 2003-2028 dalam Bab V menerangkan “Visi dan Misi GKJTU 2003-2028” dengan visi: “Menuju Gereja yang Dewasa, Mandiri, dan Misioner”. Lalu hakekat Gereja yang misioner itu diterangkan di Bab V.B.3, dan misi GKJTU dijabarkan sebagai Misi Penciptaan, Misi Pembebasan, Misi Kehambaan, Misi Rekonsiliasi serta Misi Kerajaan Allah.[7] Pemahaman misi ini sering dibahas dalam pelbagai acara pembinaan sejak tahun 2003. Juga dalam pelaksanaan misi, misi penciptaan semakin diimplementasi mis. melalui pertanian organik, biogas dsb. Misi Pembebasan dijalankan dalam bentuk penyuluhan hukum serta lokakarya tentang kekerasan, tentang hak wanita dsb.
Dengan demikian TTD-TTL GKJTU dan RIP GKJTU menjadi dua dokumen yang saling melengkapi: Menurut TTD-TTL, misi GKJTU sangat berpusat pada penginjilan, kata ”misi” maupun ”misioner” bahkan sama sekali tidak disebutkan di TTD-TTL GKJTU. Sebaliknya, RIP GKJTU banyak berbicara tentang misi, tetapi jarang menyebutkan tentang penginjilan. Dalam RIP GKJTU pemberitaan Injil hanya disebutkan dalam rangka membahas “penggunaan bentuk-bentuk kesenian lokal untuk sarana pewartaan Injil” (Bab III.D.1); demikian pula “semangat pekabaran Injil” disebutkan sebagai salah satu ciri GKJTU dalam rangka membahas “kontribusi GKJTU dalam gerakan kemitraan dan oikomene” (Bab III.F). Atau disebutkan bahwa GKJTU sebagai gereja “kerakyatan” di tengah masyarakat toleran bisa menggunakan situasinya sebagai “peluang ... untuk dapat mengabarkan berita kesukaan Injil kepada masyarakat sekitar dengan cara-cara yang santun.” (Bab IV.C.2).
Dengan demikian pemahaman misi di TTD-TTL GKJTU dan di RIP GKJTU dari satu segi memang saling melengkapi, tetapi oleh warga jemaat dapat juga disalahfahami seolah-olah dua dokumen GKJTU tersebut menyajikan pemahaman yang berbeda atau bahkan bertolak belakang. Perbedaan tekanan itu kemudian menjadi salah satu pendorong untuk menyusun satu dokumen Konsep Misi GKJTU yang memadukan pemahaman misi di TTD-TTL GKJTU, di RIP GKJTU serta pemahaman misi di dokumen-dokumen GKJTU lainnya.

1.6.3       Misi menurut Pelengkap Katekismus Heidelberg

Sidang Sinode XXVI tahun 2003 menugaskan MPH GKJTU untuk merancang Supplemen Katekismus Heidelberg, dan Sidang Sinode XXVII tahun 2008 dapat mengesahkan Pelengkap Katekismus Heidelberg (PKH) itu. PKH sebenarnya membahas misi GKJTU dari pelbagai segi, salah satu yang terpenting adalah:

24.      Pertanyaan: Dalam kondisi keberagaman agama, masing-masing umat agama melakukan penyebaran agama. Ini bisa menimbul­kan konflik antarumat beragama. Lalu, bagaimana gereja melakukan pewartaan Injil di tengah keberagaman itu?
Jawab: Pada dasarnya setiap umat beragama berhak untuk me­lakukan penyebaran agama, termasuk umat Kristen. Setiap orang Kristen mempunyai tugas mewartakan Injil, yaitu berita ke­suka­an mengenai keselamatan.a Pewartaan Injil jangan sekadar men­jadikan orang lain beragama Kristen. Pewartaan Injil adalah menabur berita kesukaan dengan menghadirkan tanda-tanda Ke­raja­an Allah.b Atas dasar itulah, berita Injil bersifat tawaran, bukan paksaan. Maka itu harus dilakukan dengan bijak dan santun, dengan menghargai keberadaan umat agama lain. Tugas ter­penting orang Kristen adalah menabur berita Injilc dengan upaya serius dan berdoa. Biarlah Tuhan sendiri yang akan menumbuh­kannya. Keputusan seseorang menerima berita Injil ada­lah keputusan pribadi yang digerakkan oleh kuasa Allah.d Orang Kristen dipanggil untuk berupaya melakukan kesaksian.e
_____________
a.       Markus 16:15 ....
(band. Katekismus Heidelberg, pert. 65)
b.       Roma 14:17... .
c.        Markus 4:26-32: ....
d.       Yohanes 6:44: ...
Yohanes 6:65: ...
e.        1 Timotius 4:12b: ... (band. 1 Petrus 3:1-2)

Tetapi sebenarnya setiap bagian PKH menjelaskan bagaimana orang Kristen melaksanakan misi di bidang budaya, politik, ekonomi, iptek di kondisi kemajemukan agama. Namun, makalah ini tidak cukup untuk membahasnya satu per satu.

2      Kesimpulan umum

Pada intinya, jantung misi GKJTU adalah pekabaran Injil, dengan tujuan supaya orang “menjadi percaya kepada Tuhan Yesus Kristus” dan “dibimbing untuk memasuki jemaat Kristen”, dengan metode “percakapan-percakapan dari pribadi kepada pribadi dan dengan berbagai usaha lainnya” (TTL GKJTU, bab XIV, ps. 56, ay 3-4) Sebagai tindak lanjut penginjilan, GKJTU memuridkan atau membina orang yang telah menjadi percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, agar seluruh warga GKJTU mewujudnyatakan keberadaan mereka sebagai terang dan garam masyarakat, sebagai pelayanan diakonia dan sebagai misi rekonsiliasi, misi pembebasan dan misi penciptaan. Agar semakin banyak orang “menjadi percaya kepada Tuhan Yesus Kristus” dan “dibimbing untuk memasuki jemaat Kristen”.
Pemahaman dasar dari TTD-TTL ini sudah sangat dilengkapi di PKH dan di RIP GKJTU. Pranatané pasamoewan Kristen Salatiga Zending dari tahun 30an, bab V, pasal 31-32, juga tetap relevan untuk merumuskan pemahaman misi khas GKJTU. Selain itu ada pelbagai pengalaman praktis yang dijadikan unsur pemahaman misi khas GKJTU. Seluruh unsur tersebut akhirnya dipadukan menjadi dokumen “Konsep dan Strategi Misi GKJTU”.





[1] Tentang sejarah misi GKJTU, lihat lampiran: Misi dalam Sejarah GKJTU.
[2] Lihat dokumentasi lengkap Laporan Lokakarya Konsep Misi GKJTU, Salatiga, 18 s.d. 20 Juni 2009.
[3] Band. di bawah, “Misi pasca peristiwa G30SMisi pasca peristiwa G30S“, hlm. 16.
[4] Band. di bawah, “Misi pada zaman Reijer de Boer (1869-1891)”, hlm. 11.
[5] Disampaikan oleh Pdt.Dr. Christian Gossweiler pada Lokakarya “Konsep Misi GKJTU”, 18 s.d. 20 Juni 2009, dan sedikit dimodifikasi untuk kebutuhan dokumen misi GKJTU ini.
[6] Alexander Fritz, rancangan “Deutsche Missionsärzte in Centraljava 1922 bis 1945” <bhs. Jerman: “Dokter zending Jerman di Jawa Tengah antara tahun 1922-1945“>
[7] Perlu dicatat bahwa pemahaman misi di RIP GKJTU dalam banyak hal merujuk pada buku Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia, Yogyakarta: Kanisius; Jakarta: BPK, 1997. Widi Artanto memang memisahkan dengan tegas antara misi dan penginjilan, demikian pula RIP GKJTU lebih banyak berbicara tentang misi ketimbang mengenai penginjilan. Mengenai kritikan kami terhadap konsep Widi Artanto, band. makalah kami ”Dasar-dasar Teologi Pekerjaan Misi GKJTU” pada Pelatihan Pekabaran Injil GKJTU di Salatiga, 26 November 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar